Penerbit : Tiga serangkai
Cetakan : 2015
Cetakan : 2015
Chapter 1
Paket
umroh berhasil membukukan seratus dua puluh tujuh peserta dibulan ini. Dengan
enam puluh persen peserta dibukukan rekan kerja yang lain dan empat puluh
persennya dibukukan olehku.
Dari
seratus dua puluh tujuh peserta tersebut, biro travel Kami membaginya menjadi enam kloter.
Per-kloter
satu sampai lima diisi dua puluh lima peserta, sedang kloter
terakhir sisanya sebanyak dua puluh tujuh orang.
Sengaja
pihak travel membaginya menjadi enam kloter, kloter pertama untuk yang minim
budget, kloter dua tiga yang high budget dan menginginkan fasilitas hotel dan
pelayanan bintang lima selama umroh, kloter keempat yang punya tambahan sedikit
dana untuk mampir sehari di Abu Dhabi, kloter kelima dan enam yang berminat
umroh plus Istambul dua hari.
Whats
the reward ?, itu yang ku tunggu dalam meeting
pencapaian di awal bulan ini. Tak sabar ingin tahu insentif apa dan berapa yang
Kami terima ?. Bukan masalah nilainya, tapi reward bagiku sama dengan
penghargaan atas kerja kerasku. Itu pemantik antusiasme dalam bekerja, yang
ingin selalu Ku nyalakan agar hidupku tak sekedar rutinitas belaka.
“Rekor penjualan paket umroh
terbanyak dipegang Laila, disusul Dian dan sisanya rekan kerja yang lain.“ Si bos
menyalakan layar proyektor dan memperlihatkan jumlah paket yang terjual dari
masing-masing sales.
“Sebagai kompensasi untuk yang
melebihi target Kami memberi insentif berupa umroh regular selama sembilan hari
dengan uang saku dua juta. Biaya passport dan suntik magningtis diluar dari
tanggung jawab Kami sebagai penyelenggara.“
HAH ! Aku hampir shock mendengarnya, ini
diluar dugaan. Kupikir Aku akan mendapatkan rupiah untuk menambah
pundi-pundi tabungan. Nyatanya sebuah perjalanan umroh yang tak pernah ku
bayangkan sebelumnya.
Okelah Aku punya target menunaikan
rukun Islam pada usia empat puluh, disaat sudah menikah, tenaga masih kuat dan
uang cukup terkumpul. Tapi itu nanti, bukan sekarang. Disaat Aku masih
sendirian, belum berkeluarga dan merasa belum cukup ilmu untuk pergi kesana
“Untuk yang tidak mencapai
target diberikan insentif sebesar lima
ratus ribu per peserta yang berhasil dibukukan“ Si bos menyambung.
“Ng, jatah umroh Saya bisa
nggak diuangkan Bos ?” Aku yang baru tersadar dari keterkejutan tanpa
malu –malu bertanya.
“Tidak bisa di uangkan, itu jatah
you. Kalau tidak digunakan ya hangus“ Si bos
mengingatkan
“Bisa dialihkan ke orang lain ?” mendadak
Aku teringat Bapak yang rindu ke Tanah Haram dan ingin sekali lagi berkunjung
kesana
“Tidak bisa, sudah di
daftarkan atas nama you.” Si bos menegaskan.
“Berangkat tanggal berapa bos ?” Dian
bertanya santai, hidupnya memang tanpa beban. Ia yang lulusan manajemen
transportasi udara berlatar keluarga berada dan biasa plesiran tak terlalu
ambil pusing dengan gaji dan insentif. Kerja baginya hanya sebuah status agar
tak disebut menganggur.
“Tanggal sembilan April kalian
berangkat, list barang bawaannya sudah Kami siapkan. Buat rekan lain yang mau
mencairkan insentif tunai silakan langsung ke kasir“ Si bos menutup meeting pagi
itu.
Aku menarik nafas dalam-dalam,
berpikir apa yang tengah Tuhan rencanakan untukku. Jujur, Aku merasa belum
pantas kesana. Aku masih orang yang labil, belum cukup dewasa dan belum terlalu
matang sebagai pribadi. Aku malu berjumpa dengan-Nya.
*** sudah tersedia di toko buku seluruh Indonesia
untuk pemesanan online klik http://gramediaonline.com/moreinfo.cfm?Product_ID=899710
Tidak ada komentar:
Posting Komentar