Jumat, 30 Agustus 2019

Orang pintar, air putih dan mitos sehat instan

                Tulisan ini sudah sejak lama ingin saya tulis. Mungkin sejak suami terkena serangan jantung, lalu menyusul frozen shoulder. Silih berganti dengan anak sulung yang dua kali operasi gigi dan harus menjalani rawat inap.



                Saya yang tinggal sebagai perantau di kota orang (dan tak punya sanak saudara) menyikapnya dengan biasa. Bukan sebagai keluhan atau pertanyaan kenapa suami saya atau anak saya diberi sakit.



                Ujian hanyalah bahasa manusia. berkah kebaikan dan kesulitan juga penamaan manusia. Saya tidak pernah menganggap ini ujian atau kesulitan. Senang susah, sehat sakit adalah jalan kita mendekat pada Allah, menguji sabar dan memaknai semuanya dengan positif.

                Allah memberi suami saya berkah materi untuk mencukupi kebutuhan hidup kami, memberi saya dua anak yang mau belajar tentang akhlak baik, memberi saya keluarga yang saling menguatkan. Yang mampu menjadi dewasa ketika salah satu dari kami masuk rumah sakit.

                Ayah masuk ICU, kiki yang menjaga dirumah sakit. Saya yang mengurus rumah dan adiknya

                Saya masuk rumah sakit, rara menjaga saya dirumah sakit. Ayahnya kerja, kiki mengurus rumah.

                Kiki sakit, ayahnya kerja. saya dan rara menjaga siang hari dan malam ganti ayahnya.
               
                Kami berusaha untuk bisa menghandle semua sendiri dan tidak bergantung pada orang lain. Tidak menyusahkan sekitar dan merepotkan orang lain. Cukuplah mereka mendoakan atau menjenguk saja. Itu saja, dan semua bisa kami atasi.

                Hanya saja…sesuatu yang tercetus dari  kenalan kami membuat saya ingin menuliskan ini.

                “Mama rara, coba ke orang pinter. Minta dibacain sama dikasih air putih. Biar nggak sering masuk rumah sakit. mungkin sakitnya ada apa-apa”

                Astagfirullah, sejak Bapak saya dulu menganut Islam kejawen hingga ia berpindah menjadi jamaah NU , saya tak pernah percaya dengan yang namanya sirik (meminta kepada selain Allah)

                Saya percaya, Allah itu di kalbu. Tidak perlu jembatan ‘orang pintar’ untuk berdoa dan meminta. Dan kufur lah saya jika sesekali diberi sakit, lalu tamak ingin meminta sehat terus.

                Saya manusia, diberi akal dan kalbu bukan untuk jadi tersesat. atau menyesatkan diri. Kalau mendadak dalam dekripsi manusia lain itu dianggap kesulitan yang beruntun. Bagi saya sebaliknya, itu nikmat dalam bentuk lain.

                Nikmat yang insya allah bisa menghapus dosa dan khilaf saya selama hidup ‘Tiada seorang mu’min yang ditimpa oleh lelah atau penyakit atau risau fikiran atau sedih hati, sampaipun jika terkena duri, melainkan semua penderitaan itu akan dijadikan penebus dosanya oleh Allah’ (HR. Bukhari – Muslim)
               
                Keyakinan bukanlah formalitas, keyakinan harusnya tak memiliki keraguan, keyakinan dengan keraguan hanya menghasilkan keimanan yang buta pemahaman. Kenali Allah dengan hati dan rasakan cintanya dalam versi apapun, bukan versi yang kamu inginkan atau harapan.

                Karena ‘Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui’ (QS. Al Baqarah : 216)