Beberapa
meja gambar dan meja computer serta dua maket
pabrik dan apartement menghiasi ruang kantor sebuah perusahaan
arsitektur dan juga jasa kontraktor.
Sejak kemarin siang Sani dan Arbi
dua orang arsitek yang bergabung diperusahaan tersebut belum pulang. Mereka
terpaksa lembur karena ada proyek pembuatan design konduminium yang harus
dikejar. Gambar baru selesai di buat Arbi dan Sani keesokan harinya.
“ Akhirnya bisa liburan,“ Sani menarik nafas lega.
“ Liburan ?. Kok nggak ngajak-ngajak
?“ Arbi yang dari awal bekerja berteman akrab dengan Sani melirik ke arah
rekannya.
“ Ke resort Kalianda besok, mau
nggak ?“ Sani mengambil dua sachet kopi instant dari lacinya. Lalu beranjak ke
dispenser yang ada disudut ruangan untuk menyeduhnya dalam gelas yang tersedia
di meja samping dispenser.
“Mau banget, ajak Miranti boleh kan
? “ Arbi menerima segelas kopi yang
dibuatkan Sani.
“Boleh,“ sambil menjawab Sani
kembali duduk di kursinya.
“Ada acara apa sih ?”
“Adik baru lulus sarjana, ortu kasih
hadiah liburan buat Dia,“
Arbi ber ‘Oh…’ panjang
“Ntar Aku tanya Miranti mau ikut apa
nggak tuh anak .“
“Nafsu banget ngajak Miranti.“
“Namanya juga pacar, kaya nggak
pernah pacaran aja“ Arbi meninju lengan Sani.
“Sebelum sama Miranti udah berapa
kali ganti ? “ pertanyaan Sani seolah
membuka kenangan Arbi kembali.
“ Baru sekali. Namanya Blue, Dia misterius
tapi ngangenin“ Arbi menerawang mengingatnya.
“Sekarang kemana ?“
“Ke laut !“ selesai menjawab Arbi
beranjak dari kursinya.
“Aku pulang duluan San“ Arbi meninggalkan kantornya dan mengemudikan
mobilnya pergi meninggalkan halaman parkir. Ia menuju ke plaza tempat kekasihnya
bekerja sebagai supervisor pengelola.
Sepanjang perjalanan menuju plaza Ia
mengenang kembali sosok Blue, gadis yang Ia kenal secara tak sengaja semasa
kuliah dulu. Lewat chat room yahoo lalu berlanjut ke kopi darat. Gadis itu
dengan rautnya yang selalu tampak murung dan sikapnya yang menyimpan misteri
membuat Ia jatuh cinta dan ingin melindungi.
“Sebenarnya
Aku hanya ingin mempermainkanmu, sama seperti
pria-pria sebelumnya yang kutemui di chat room.”
Tapi kalimat penolakannya yang pedas
waktu itu mengubah rasa cintanya dulu menjadi luka yang tak tersembuhkan hingga
sekarang. Pun Miranti datang memasuki hidupnya dan menawarkan cinta untuknya,
Arbi masih tetap mengingat luka itu.
Dari lobby pintu masuk plaza Arbi bisa melihat
Miranti yang tengah menyiapkan pernak-pernik menjelang Imlek. Gadis itu
menggeser pohon jeruk imitasi yang tadi diletakkan maintenance di dekat
escalator sedikit lebih ke samping sehingga tak menggangu pengunjung yang akan
lewat.
Miranti kemudian memberi pengarahan
pada maintenance dan office boy yang membantunya dimana saja harus diletakkan
pernak-pernik tersebut.
“Lampion besarnya taruh di
langit-langit lobby,“ Miranti memberi intruksi.
Arbi
yang telah tiba di dekatnya menghentikan langkah, Miranti yang menyadari tersenyum
sekilas. Arbi membalas senyuman kekasihnya dan membiarkan Miranti menyelesaikan
pekerjaannya.
“ Hiasan lampu mercon dan gambar
patung dewa uangnya letakkan di tiap muka area counter. “
“Baik Bu,“ Maintenance dan office
boy yang ada mengangguk paham.
“Sekarang Saya tinggal dulu, besok Saya
akan Lihat hasil kerja kalian,“ Selesai bicara Miranti menghampiri Arbi.
“Tumben menyusul kemari tanpa
menelphone dulu,”
“Mau memberi kejutan. Aku mau
mengajakmu makan malam” Arbi meraih pundaknya dan mengajaknya berlalu menuju
salah satu café yang ada.
“Alasan. Pasti ada yang mau Kau
katakan,“ Miranti menebak.
“Benar. Aku mau mengajakmu liburan”
Arbi mengedip ke arahnya. Ia mengajak Miranti duduk di salah satu meja yang
kosong.
“ Mau pesan apa ?” Arbi bertanya
saat pelayan menghampiri meja mereka.
“Nasi kari kambing, minumnya jus
terong belanda” Miranti menyebutkan pesanannya.
“Nasi kari kambing dan jus terong
belanda dua” Arbi mengulang pesanan pada pelayan.
“Kau mau mengajakku liburan kemana
?” sembari menunggu pesanan mereka di hidangkan Miranti meneruskan obrolan yang
sempat terputus.
“Resort Kalianda, Lampung. Sani yang
mengajak kesana, merayakan kelulusan adiknya.”
“Kapan berangkatnya ?”
“Besok”
“Oh”
“Jadi bagaimana, Kau bisa ikut ?”
Arbi bertanya penuh harap.
Miranti menggeleng pelan.
“ Jadi tidak bisa ?,“ wajah Arbi menyiratkan kecewa ketika
mendengar jawaban Miranti yang tak bisa ikut bersamanya ke Bandar Lampung.
“ Kalau besok pasti tidak bisa,
akhir pekan pengunjung mall ramai. Paling satu dua hari lagi baru bisa berangkat.“
“Jadi bagaimana ? Aku berangkat
duluan dan Kau menyusul ?. Atau Kita berangkat sama-sama lusa ?“
“Kau duluan dengan Sani juga tak
masalah. Yang penting setibanya Aku disana Kau menjemputku di pelabuhan. Aku
kan tidak mau kesasar”
“Baik tuan putri” Arbi menggodanya.
“Kau
ini” Miranti menatap gemas. Ia hendak memukul tangan Arbi. Tapi Arbi sigap
meraih jemari Miranti dan mengenggamnya mesra.
Dipandanginya
gadis itu lekat-lekat. Tiap kali bersamanya, Arbi seperti menemukan kedamaian
cinta yang sempat hilang dari hatinya.
Pelabuhan Bakahueni sudah nampak
terlihat, tinggal beberapa ratus meter lagi kapal merapat di anjungan. Sani dan
Arbi beringsut dari kursinya dan bersiap-siap untuk turun.
“Aku telephone adikku dulu,“ Sani
mengeluarkan ponselnya dari saku dan menghubungi nomer ponsel adiknya.
“Mbun, Kakak sudah sampai Bakahueni.
Tolong jemput ya.“ setelah Embun menjawab telphonenya Sani bicara.
Embun
yang sedari tadi menemani Ibunya
menonton televisi di dalam cottage segera beranjak dari sofa.
“Kak Sani bawa hadiah apa untuk Embun
?“ Embun tampak riang mendengar suara Kakaknya.
“Rahasia ,“ selesai menjawab Sani
memutus pembicaraan.
Embun tersenyum kecut ke arah Ibunya yang baru saja mematikan layar
televisi dan tengah memandanginya.
“Kak Sani bilang apa ?” Ibunya bertanya lembut.
“Minta dijemput di pelabuhan.“
“Ya sudah sana berangkat.“
Embun mengiyakan, Ia segera bergegas ke teras
depan menemui Ayahnya yang sedang membaca Koran.
“Yah, Embun pinjem kunci mobil.“
“ Jemput Kakakmu ? “ sambil menyodorkan kunci mobil yang
sedari tadi tergeletak di atas meja teras Ayah Embun bertanya
“Iya.“
“Hati-hati bawa mobil. Anak perempuan kalau mengemudi
jangan ngebut.“
“Iya Ayah, Ayah pokoknya tenang aja deh. Embun nggak
bakalan ngebut.“ Embun berlari
menghampiri mobil jeep
yang terparkir di dekat pantai.
Hampir
lima belas menitan Sani dan Arbi menunggu di halaman parkir pelabuhan Bakaheuni,
hingga sebuah jeep yang warna dan nomer mobilnya dihapal Sani
meluncur masuk ke area parkir. Sani segera mengajak Arbi menghampirinya.
“Akan Ku kenalkan Kau pada adikku,“ tiba disamping mobil Sani mengetuk kaca
jendelanya.
Embun membuka pintu dan turun,
matanya tanpa sengaja bersitatap dengan Arbi yang berdiri disamping Kakaknya.
“Angel,”
Embun menggumam dalam hati.
“ Blue,“ batin Arbi menyebut
sebuah nama. Ia tak percaya melihat
gadis itu lagi.
“Namanya Embun, Dia adikku.“ Sani memecah keterpakuan diantara mereka.
“Saya Arbi rekan kerja Kakakmu,“
masih dalam keterkejutan Arbi mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Embun sempat tertegun sebelum
membalas uluran tangan tersebut.
“Embun.“
Arbi menyentuh jemari lentik itu,
ada sesuatu yang melingkar di jari manis Embun. Sebelum melepas jabat tangannya
Arbi sempat memperhatikan.
“Cincin
itu,“ hati Arbi berkata, reflek Ia ganti melihat ke leher
Embun. Kalung pasangan cincin tersebut juga dikenakan gadis itu. Kalung dan
cincin berinisial B pemberian darinya.
“Kenapa Ia masih menyimpan hadiah dariku ?“ Arbi tak habis pikir.
Embun sengaja mengacuhkannya seakan
tak menyadari Arbi tengah memperhatikannya.
“Mbun, biar Kakak yang nyetir. Kamu
duduk di belakang nggak pa-pa kan ? “ Sani yang tak mengetahui keterikatan
mereka di masa lalu berujar.
Embun mengangguk pelan, Ia masuk ke mobil.
Diikuti Arbi yang duduk di jok sebelah Kakaknya.
Sepanjang
perjalanan Arbi dan Embun menyimpan gundah di hati masing-masing, kisah masa
lalu yang coba dikubur dalam-dalam kini terkenang kembali.
Rumah besar berlantai dua yang ditinggali Embun
bersama Ibu dan Ayah tirinya terlihat
sunyi. Embun masih terlelap tidur dikamarnya pagi itu.
“ Dasar sundal tidak tahu diri !!! “
Embun tersentak bangun dari tidurnya, teriakan dari lantai bawah rumahnya
terdengar. Itu suara Ayah tirinya yang hampir setiap hari di dengarnya.
Embun membuka pintu kamarnya
perlahan, lalu pelan-pelan berjingkat
menuruni anak tangga untuk melihat apa yang terjadi.
Ayah tirinya menjambak rambut ibu
dan menyeretnya ke ruang tengah.
“
Ampun Mas,“ Ibunya meringis kesakitan. Embun menatap
pilu, matanya berkaca-kaca. Ia tak berani menolong Ibunya, Embun terlalu takut.
“Maafkan Embun Bu, Embun takut.“ Embun
teringat kembali apa yang terjadi ketika Ia mencoba menolong Ibunya.
Sama seperti hari ini ketika Ia
mencoba memeluk Ibunya
untuk melindungi, Ayah tirinya menarik bahunya dengan kasar hingga jatuh
terduduk.
“Beraninya Kau ikut campur !!! “ Ayah
tiri Embun mendaratkan tamparan ke wajah Embun berulang kali.
Embun mengerjapkan mata berusaha
mengusir bayangan kelam kejadian waktu itu. Tapi tak bisa, melihat Arbi detik
ini Ia seperti di hempaskan ke masa silam dan merasakan luka itu kembali.
“Dengar
!, Aku tak akan mengampunimu sampai Kau berikan perhiasannya !!! “ Ayah tiri Embun semakin keras menjambak
rambut Ibunya.
“
Aku akan berikan, tapi lepaskan Aku dulu Mas.“
Ayah
tiri Embun tersenyum penuh kemenangan, Ia mendorong kepala Ibu Embun hingga
jatuh menabrak siku meja. Pelipis Ibunya berdarah, Embun ingin sekali menolong. Namun rasa
takutnya lebih besar hingga Ia tak berani beranjak dari anak tangga yang di
singgahinya.
Ibunya
berjalan masuk kamar diikuti Ayahnya dari belakang, selang tak berapa lama Ayahnya
keluar membawa perhiasan Ibu Embun dengan wajah menyeringai puas.
Setelah
mendengar deru mobil Ayahnya meninggalkan halaman rumah Embun
segera berlari menuruni anak tangga menuju kamar Ibunya.
Sesaat
Embun tertegun di pintu kamar Ibunya,
wajah orang yang dikasihinya itu lebam dan penuh darah. Isak tangis Ibunya terdengar memilukan dan menyayat
hati Embun. Embun membalikkan langkah berlari ke dapur untuk menyiapkan
kompres.
Embun
mengambil baskom, setitik air matanya jatuh di dasar baskom. Larut dengan air
es yang dituangnya ke dalam baskom. Embun kemudian mengambil lap handuk yang
ada dilaci meja dapur, setelah itu kembali ke kamar Ibunya.
“Bu, biar Embun obati luka Ibu.“ Embun duduk di hadapan Ibunya, hendak mengelap sisa darah yang mengalir dari
pelipis. Ibunya
menggeleng lalu memeluk Embun dan menumpahkan tangis yang masih tersisa.
“
Embun sayang Ibu,“
Embun membalas pelukan Ibunya
dengan erat.
“Ibu tahu sayang, Ibu tahu hanya Kau yang mencintai Ibu.“
“Kalau begitu ceraikan Dia Bu, Dia sudah terlalu lama menghancurkan
kehidupan Kita
Bu.“
“Ibu tidak bisa Mbun, Ibu tidak bisa.“
Ibu Embun menggeleng kuat dan melepaskan pelukannya.
Ibu
Embun menarik nafas dalam, berusaha menghentikan tangisnya sendiri. Ia kemudian
mengambil handuk di tangan Embun.
“
Biar
Ibu
yang lakukan sendiri Mbun.“
Embun menatap Ibunya, wanita tua itu menundukkan kepala
tak berani melihat ke arahnya. Embun tak pernah tahu alasan apa yang membuat Ibunya tetap bersama Ayah tirinya.
Jauh di dalam benaknya, Ibu Embun selalu terngiang ancaman suami keduanya.
“
Aku
akan membunuh putrimu
jika Kau
berani menceraikanku.“
ancaman
itu, ancaman yang membuat Ibu Embun hanya bisa pasrah menerima segala perlakuan
kasar suaminya.
“Seandainya dulu Aku tak terperdaya olehnya.“ Ibu Embun membatin, Ia teringat kembali awal perkenalan dengan suami keduanya.
Suaminya baru saja meninggal, karangan
bunga masih berjejer di halaman depan rumahnya. Arman yang waktu itu menjabat
sebagai sekertaris suaminya datang ke rumahnya untuk menyerahkan laporan
perusahaan. Masih mengenakan pakaian
serba
hitam yang
menyiratkan perasaan berkabung Ibu
Embun menemuinya di ruang tamu.
“Saya tahu Ibu masih berduka dengan
meninggalnya Bapak.
Namun perusahaan tak bisa ditelantarkan
begitu saja. Banyak hal yang harus dikerjakan segera agar perusahaan bisa tetap
berjalan.“
Saat bersamaan Embun yang baru
pulang sekolah dan masih mengenakan seragam SMP-nya pulang. Ia menghampiri Ibunya dan duduk di sebelah wanita itu.
“Tapi saya sama sekali tak mengetahui
seluk beluk perusahaan. Pak Arman mungkin yang lebih mengerti. Sebagai orang
kepercayaan suami Saya, bisakah pak Arman menggantikan tugas suami Saya untuk
sementara waktu ?.”
“Bisa saja. Saya dengan senang hati
membantu, tapi tetap tanda tangan Ibu
sebagai pemilik langsung perusahaan diperlukan untuk meng-approve semua
transaksi.“
Pak arman menyungging seutas senyum
yang memberi kesan baik
dan mampu memperdayainya.
Ibu Embun berusaha mengusir ingatan
itu, Ia
menatap putrinya.
“Sudah siang, Kau harus sekolah. Bersiap-siaplah
sekarang.“
Embun mengangguk tak berani membantah.
“Ibu,
sejujurnya Aku
ingin tetap berada di rumah disaat-saat Ibu seperti ini”
Embun mengucapkan itu dalam hati.
“Berangkatlah sekolah, jangan
pikirkan Ibu.
Ibu akan baik-baik saja“ Ibunya
membelai rambut Embun penuh
kehangatan seolah tak pernah ada luka kekerasan yang baru saja
menderanya.
“Aku mengerti Bu, Ibu tak ingin membagi derita padaku.
Ibu selalu ingin membuatku menjauh dari neraka di rumah ini. Dan satu-satunya
tempat yang aman untukku menurut Ibu
adalah sekolah“ Embun
membatin, Ia mencium kening Ibunya.
“ Embun, ke kamar dulu Bu“
Embun beranjak meninggalkan kamar Ibunya. Langkahnya gontai, Ia sama sekali
tak punya semangat untuk ke sekolah setelah keributan yang terjadi pagi itu
dirumahnya.
Gerbang
SMU Dharma sudah ditutup sejak bel masuk berbunyi, Embun yang datang terlambat
masih berdiri mematung
di depan gerbangnya.
“ Bu, Embun enggan memanggil penjaga sekolah, Embun tak yakin akan konsentrasi di kelas. Neraka
di rumah terlanjur meluluh lantakkan semangat Embun untuk belajar.
Maafkan Embun Bu“
Embun melangkah pergi, menyusuri trotoar jalan
menjauh dari gedung sekolahnya.
“ Maafkan kali ini Embun membolos lagi. Embun
masih ingin menyendiri Bu”
Embun
berjalan tertunduk menekuri trotoar yang dipijaknya.
“Terlalu banyak yang berubah sejak kepergian Ayah“ Embun bicara sendiri dalam hati.
“Andai
Pak Arman tidak datang dan berpura-pura baik pada Ibu mungkin neraka ini tak akan
pernah ada“ Embun menghela nafas menyesali nasibnya.
Dua
siswi sekolah berbeda
yang juga sedang membolos sekolah berjalan melewati Embun.
“ Cari cowok yuk lewat chatting,“ suara salah satu diantara Mereka menyentakkan lamunan Embun. Embun
mendongakkan kepala, melihat ke arah dua remaja tadi yang menghilang dibalik
pintu warnet tepat di tepi
trotoar.
“
Aku
ingin bicara dengan seseorang,“
satu
keinginan tiba-tiba melintas dihati Embun, mengantarnya masuk ke dalam warnet
yang sama dengan dua remaja putri tadi.
Embun
menarik salah satu kursi kosong, lalu mengklik menu yang diinginkannya. Mozilla,
kemudian mengetik yahoo.com, register email dengan nama Blue, sign in, terakhir menuju join chat room.
‘
Help,
I need some one to took.‘
Embun
mengetik sebaris kalimat.
‘ Hi, I’ m Angel.’
Balasan
dari seseorang muncul di privat room.
‘
I’m Blue.’
‘ I know. From who ?.’
‘
Indo.‘
‘
Sama
donk, Aku
juga Indo.‘
Embun sedikit tersenyum membacanya.
‘ Bisa bertemu ?.’
Embun
memberanikan diri bertanya.
Ia merasa butuh teman untuk bicara dan menghibur dirinya.
‘ Bertemu ?. Kamu memangnya tinggal di kota mana
?’
‘
Sidoarjo
Surabaya‘
‘
Dekat,
Aku
juga kuliah disini. Plaza tunjungan
bagaimana ?’
‘
Iya,
Aku
akan kesana. Kutunggu di dekat pintu masuk, Aku mengenakan seragam putih
abu-abu.‘
Klik,
mouse ditekan dan Embun keluar dari chat room.