Semalam saya terlibat diskusi via BBM dengan teman yang anaknya baru berusia 1thn. Anak teman saya ini batuk pilek dan siangnya dibawa ke dokter.
Dari sesi konsultasi mereka dengan dokter, topik berpindah ke imunisasi yang menurut dokter wajib dilakukan. Teman saya sebagai orang tua mengatakan akan mempertimbangkan.
Lalu BBM ia ke saya, menguraikan apa yang tadi saya terangkan diatas.
Saya sebagai orang tua yang juga punya anak memberi pandangan berdasarkan pengalaman saya.
Saya terangkan bahwa kedua anak saya mendapat imunisasi umum seperti BCG/DPT/Polio dan campak
Kenapa empat itu ? Karena banyak kasus polio yang masih terjadi di indonesia ini.
Salah satunya dari banyak kasus yang ada : http://m.tempo.co/read/news/2005/05/09/05560732/Tiga-Balita-di-Lebak-Terkena-Polio
Saya yang dulu awam hanya berpikir untuk menggantungkan harapan pada suntik polio tanpa berpikir panjang kali lebar bahwa segala yang hidup bergantung pada Allah dan bagaimana kita menjaganya.
"Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur'an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian" (Al-Isra :82)
Selain tiga imunisasi diatas saya tak menyarankan untuk MMR, hepatitis A, meningitis, Pneumokokus dan Rotavirus.
Selain karena biayanya mahal, saya agak worry dengan imunisasi tambahan tersebut. Takutnya terlalu banyak imunisasi antibody menolak dan malah menyebabkan sakit. kaya kalo kita kebanyakan minum obat, organ yang lain melemah.
Balik ke sharing imunisasi tadi, temen saya bilang "udah pernah baca buku Rasulullah is My Doctor karangan Jerry D. Gray?
Me : belum
Friend : mba tahu bahan pembuatan vaksin itu apa
Me : (mulai penasaran) Bentar dakuw browsing dulu
Bbm terhenti dan saya mulai browsing, mencari tahu seputar imun yang pas bayi masuk ke tubuh saya, sulung saya dan bungsu saya.
Hasilnya, mencengangkan dan bikin miris, menyesal dan bikin saya merasa perlu untuk menuliskannya di blog
Asal mula program imunisasi di indonesia :
pada tahun 1977, WHO memulai pelaksanaan program imunisasi sebagai upaya global secara resmi dan disebut suatu Expanded Program on Immunization (EPI) yang dikenal di Indonesia sebagai Program Pengembangan Imunisasi (PPI). Di Indonesia program imunisasi secara resmi dimulai di 55 Puskesmas pada tahun 1977 Beberapa antigen mulai menjadi program imunisasi nasional seperti BCG tahun 1973, TT Ibu Hamil tahun 1974, DPT tahun 1976. Polio tahun 1981, Campak tahun 1982, dan tahun Hepatitis B tahun 1997. Pada tahun 1990 secara nasional Indonesia mencapai status Universal Child Immunization (UCI) yaitu mencakup minimal 80% (Campak) sebelum anak berusia satu tahun dan cakupan untuk DPT-3 minimal 90%. (sumber : pada tahun 1977, WHO memulai pelaksanaan program imunisasi sebagai upaya global secara resmi dan disebut suatu Expanded Program on Immunization (EPI) yang dikenal di Indonesia sebagai Program Pengembangan Imunisasi (PPI). Di Indonesia program imunisasi secara resmi dimulai di 55 Puskesmas pada tahun 1977 Beberapa antigen mulai menjadi program imunisasi nasional seperti BCG tahun 1973, TT Ibu Hamil tahun 1974, DPT tahun 1976. Polio tahun 1981, Campak tahun 1982, dan tahun Hepatitis B tahun 1997. Pada tahun 1990 secara nasional Indonesia mencapai status Universal Child Immunization (UCI) yaitu mencakup minimal 80% (Campak) sebelum anak berusia satu tahun dan cakupan untuk DPT-3 minimal 90%.
Bahan-Bahan Vaksin :
Disebutkan bahwa materi yang digunakan sebagai bahan vaksin ada dua macam, (1) bahan alami, antara lain: enzim yang berasal dari babi, seline janin bayi, organ bagian tubuh seperti: paru-paru, kulit, otot, ginjal, hati, thyroid, thymus, dan hati yang diperoleh dari aborsi janin. Vaksin polio terbuat dari babi; atau campuran dari ginjal kera, sel kanker manusia, dan cairan tubuh hewan tertentu antara lain serum dari sapi atau nanah dari cacar sapi, bayi kuda atau darah kuda dan babi, dan ekstrak mentah lambung babi, jaringan ginjal anjing, sel ginjal kera, embrio ayam, dan jaringan otak kelinci. (2) Bahan yang berasal dari unsur kimia antara lain: merkuri, formaldehid, aluminium, fosfat, sodium, neomioin, fenol, dan aseton. (sumber : http://danusiri.dosen.unimus.ac.id/materi-kuliah/kebidanan/pandangan-islam-tentang-imunisasi/ )
Produsen vaksin :
Bio Farma adalah satu-satunya produsen vaksin bagi manusia di Indonesia dan terbesar di Asia Tenggara yang selama ini telah mendedikasikan dirinya dalam rangka memproduksi vaksin dan anti sera berkualitas internasional. Produksi vaksin dan anti sera ini diproduksi untuk turut serta mendukung program imunisasi nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia dengan kualitas derajat kesehatan yang lebih baik.(sumber : http://www.biofarma.co.id/?page_id=14801)
Ketidak jelasan bahan vaksin bio farma :
vaksin tidaklah mengandung unsur babi, meskipun pernah bersentuhan saat proses reaksi kimia. “Ketika ada proses pembersihan/penyucian secara ilmiah dengan berulang – ulang dan kemudian dinyatakan bersih dari yang haram (babi), maka statusnya menjadi bersih dari unsur yang haram (sumber : http://www.biofarma.co.id/?p=18091)
Dari sana saya mencari paparan yang lebih mendalam tentang hal ini :
Melalui situs resminya, www.biofarma.co.id PT Biofarma menyatakan diri ingin menjadi produsen vaksin global, memproduksi dan memasarkan vaksin berkualitas internasional untuk kebutuhan pemerintah, swasta nasional, dan internasional. Selain itu, PT Biofarma juga ingin mengembangkan inovasi vaksin yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Sangat jelas terlihat bahwa PT Biofarma lebih berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan pasar (keuntungan materi) dengan penjualan vaksin sebesar-besarnya, bukan berfikir apakah produk vaksinya halal dan baik.
Jika menelusuri jejak awal pemberian vaksin, maka menurut Flexner Brother, sejarah vaksin modern menemukan bahwa yang mendanai vaksinasi pada manusia adalah keluarga Rockefeller, salah satu keluarga Yahudi dan anggota Zionisme Internasional.
Bukan kebetulan, kalau ternyata melalui keluarga Rockefeller didirikan lembaga kesehatan dunia, WHO dan lainnya. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Leonard Horowitz dalam “WHO Issues H1N1 Swine Flu Propaganda” :
“The UN’s WHO was established the U.S Government’s National Science Foundation, the National Institute of Health (NIH), and earlier, the nation’s Public Health Service (PHS).”
WHO batasi penggunaan babi untuk bahan vaksin
Detikhealth.com menurunkan berita “WHO Batasi Penggunaan Babi untuk Pembuatan Vaksin”. Sumber informasi ini bahkan disampaikan oleh peneliti senior PT Biofarma, Dr Neni Nurainy, Apt, dalam jumpa pers Forum Riset Vaksin Nasional 2011 di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat, Selasa (26/7/2011).
“WHO mulai membatasi, karena ada risiko transmisi dan itu sangat berbahaya. Misalnya penggunaan serum sapi bisa menularkan madcow (sapi gila).”
Dalam berita tersebut, PT Biofarma mengklaim sudah mulai menggunakan media non-animal origin sebagai unsure binatang. Salah satunya pada vaksin polio injeksi atau Injected Polio Vaccine (IPV), yang proses pembuatannya telah dipresentasikan di Majelis Ulama Indonesia. Betulkah demikian?
PT Biofarma, sebagai produsen terbesar vaksin untuk nasional dan internasional dan juga merupakan perusahaan yang berskala internasional sudah pasti pembuatan vaksinnya sesuai standard WHO. Jika WHO secara terang benderang menyatakan akan mengurangi penggunaan babi dalam pembuatan vaksin, maka selama ini WHO masih menggunakan babi dalam pembuatan vaksin. Tentu, begitu pula dengan PT Biofarma.
Profesor Jurnalis Uddin, seorang anggota MPKS (Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak), dalam sebuah acara dengan PT Biofarma dan Aventis untuk memberikan penjelasan tentang proses pembuatan vaksin polio mengungkapkan adanya tripsin babi dalam pembuatan vaksin polio, begitu juga dengan vaksin Meningitis yang diproduksi oleh Glaxo Smith Kline untuk para jama’ah haji.
Selain tripsin babi, produksi vaksin juga kerap menggunakan media biakan virus (sel kultur) yang berasal dari jaringan ginjal kera (sel vero), sel dari ginjal anjing, dan dari retina mata manusia.
Dori Ugiyadi, Kepala Divisi Produksi Vaksin Virus Biofarma membenarkan bahwa ketiga sel kultur tersebut dipakai untuk pengembangan vaksin influenza. “Di Biofarma, kita menggunakan sel ginjal monyet untuk produksi vaksin polio. Kemudian sel embrio ayam untuk produksi vaksin campak,” ujarnya.
(sumber : http://www.arrahmah.com/read/2011/08/22/14862-konspirasi-di-balik-fatwa-mui-vaksin-imunisasi-halal-dan-baik.html#sthash.cknvR6yf.dpuf )
Kesimpulannya :
Mungkin perlu dipertimbangkan ulang jika ingin memberikan imunisasi pada anak
Pandangan Islam Tentang Vaksinasi-Imunisasi
a. Wasiat Rasulullah
Sebelum Rasulullah wafat, tepatnya ketika beliau khutbah pada haji wada’, haji terakhir beliau atau dikenal sebagai haji perpisahan beliau dengan umat Islam, sempat berwasiat: “Taraktu fiikum amraini. Lan tad}illu> abada> ma> intamassaktum bihima> kitaba-lla>hi wa sunnata Rasu>lihi
تركت فيكم امرين لن تضلوا ابدا ما ان تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله.
Artinya:
Aku tinggalkan kepadamu dua perkara. Kamu tidak akan tersesat selamanya selagi berpegang teguh keduanya, yaitu kitabullah (Alquran) dan Sunnah Rasulnya – al-Hadis; Iwan Gayo, 2008: 36). Oleh karena masalah vaksinasi-imunisasi belum terjadi pada masa Rasulullah, maka belum ada petunjuk sedikitpun tentang imunisasi. Terhadap masalah yang bersifat kontemporer menjadi lapangan dan lahan bagi para ulama untuk melakukan ijtihad menemukan solusi hukum perkara tersebut haram atau halal, baik atau buruk, bermanfaat atau berbahaya bagi kesehatan.
Para ulama dalam berijtihad untuk menetapkan hukum terhadap masalah-masalah kontemporer pasti tidak pernah menghasilkan keputusan ijma’yyah ‘amiyyah (kesepakatan umum), melainkan khlafiyyah (perbedaan pendapat diantara mereka). Bentuk khilafiyyah yang paling ekstrim adalah halal atau haram. Tidak terkecuali mengenai vaksinasi-imunisasi. Dalam Ilmu Fikih memang terdapat adagium “Man laa ya’lamu khilaafiyyatan laa ya’lamu raaihatal fiqhi” (Barang siapa tidak mengenal perbedaan pendapat, sesungguhnya ia tidak mengenal baunya Fikih”). Baunya saja tidak mengetahui, apalagi ilmu fikihnya itu sendiri.
b. Pro Versus Kontra: Haram versus Halal Tentang Vaksinasi-Imunisasi
1). Haram
Para ulama, pemikir, mujtahid ada yang menghukumi haram terhadap tindakan vaksinasi-imunisasi. Argumen yang diajukan antara lain memasukkan barang najis dan racun ke dalam tubuh manusia. Manusia iu merupakan khaifatullah fi al-ard} dan asyraf al-makhlu>qa>t (maskhluk yang paling mulia) dan memiliki kemampuan alami melawan semua mikroba, virus, serta bakteri asing dan berbahaya.Berbeda dengan orang kafir yang berpendirian manusia sebagai makluk lemah sehingga perlu vaksinasi untuk meningkatkatkan imunitas pada manusia.
Para filosof Barat dari aliran Eksistensialisme kiri, seperti Jean Paul Sartre menyatakan bahwa manusia hanyalah sampah yang terbuang dan tak berarti. Ia berkata: My original fall is the existence of the Other. I grasp the Other’s look ad the very center of my act as the solidificatiom and alineatiom of my own possibilities (Asal mula kejatuhanku karena keberadaan orang lain. Aku mengerti tatapan orang lain tertuju benar-benar kepada setiap tindakanku sebagai sesuatu yang padat dan mengasingkan kemungkinan-kemungkinanku yang aku punyai; Jen Paul Sartre: 1948: 263). Yang ia maksud dengan istilah ‘kejatuhan’ adalah ketidakmaknaan keberadaannya. Jadi manusia tak ubahnya bagaikan sampah. Ia menambahkan bahwa kejatuhannya itu adalah permanen. . . . “is the permanent structure of my being for the Other” (ibid). Hanya karena manusia diperhatikan orang lain dimaknai dimakan orang lain hingga kepribadiannya hancur tak bermakna. Dari sinilah ia juga mengatakan manusia sebagai homo homini lopus (manusia adalah binatang yang saling memangsa). Paham ini kemudian masuk ke Indonesia antara lain melalui sajak Chairil Anwar tentang ‘Aku’. Dalam sajak ini disebutkan bahwa manusia hanyalah binatang jalang dari kumpulan yang terbuang. Lebih dari itu, pendapat manusia sebagai binatang telah berakar sejak zaman filsafat Yunani purba.Aristoteles menyatakan bahwa manusia hanyalah binatang yang berpikir. Esensi pendapat ini adalah menyatakan bahwa manusia hanyalah binatang. Jadi tidak bermasalah sama sekali jika di dalam tubuhnya dimasukkan sesuatu yang menurut syariat adalah benda-benda najis karena ‘manusia’-nya sendiri adalah sesuatu yang identik dengan ‘najis’.
Solusi yang diajukan untuk meningkatkan kekebalan balita adalah menghindari tindakan vaksinasi-imunisasi pada balita maupun manusia pada umumnya, selanjutnya menerapkan syariat tahnik kepada balita, yaitu memasukkan kurma yang telah dikunyah lembut atau madu ke dalam rongga mulut si bayi ketika melaksanakan uapaca ‘aqiqah pada hari ke tujuh dari kelahiran anak. Tahnik dipandang sebagai vaksinasi-imunisasi. Perlu ditambahkan bahwa pada zaman Nabi tidak ada anak yang divaksinasi dan kenyataannya juga sehat-sehat dan banyak yang berumur panjang. Artinya umur harapan hidup rata-rata sejak zaman Rasulullah dan zaman sekarang kurang lebih sama. (sumber : http://danusiri.dosen.unimus.ac.id/materi-kuliah/kebidanan/pandangan-islam-tentang-imunisasi/)