Rabu, 07 Januari 2015

Gultom Agency, industri rokok & pemasaran buku



               Ingat gultom agency ? atau pernah dengar tentang buku-buku gultom agency ? kalau tidak saya terangkan dulu.

                Gultom agency ini dulunya penerbit komik dan novel untuk kelas menengah yang berkantor di daerah senen. Novel dan komiknya tak pernah masuk bookstore (jaman dulu gramedia matraman yang saya tahu), tapi di pasarkan secara manual turun ke lapangan.

 Harga komiknya seingat saya dulu dua ratus lima puluh rupiah. Itu jaman saya SD tahun 80-an dan belinya di pedagangan mainan keliling. Seri yang saya beli petruk dan gareng. Saya harus menabung tiga hari untuk membeli komik ini, karena uang jajan saya waktu itu hanya seratus rupiah.

                Balik ke gultom agency, novel-novelnya dulu di jual di kios kaki lima dan terminal. Di kios dekat rumah pas tahun 90an sekitar dua ribu lima ratus. untuk ukuran uang jajan saya yang tujuh ratus lima puluh rupiah masih belum terjangkau. Jadi lebih seringnya saya sewa berbagai macam buku dari taman bacaan dekat rumah atau pinjam pada teman yang memiliki koleksi buku lengkap.

                Pemasaran yang langsung turun ke lapangan dan menarik orang untuk membeli ternyata benar-benar ampuh. Mereka yang jauh dari bookstore atau memang enggan menginjakkan kaki ke bookstore terangsang untuk membeli. Walaupun mungkin isinya dianggap kacangan dibanding buku-buku terbitan grup gramedia seperti serial NINA.

                Novel dan komik itu laris, sebagian novel dibeli hak ciptanya oleh penerbit di Malaysia dan brunei, sebagian kecil novel ada yang di filmkan dan sebagian lainnya diterbitkan ulang penerbit besar seperti yang terjadi pada novel Abdullah harahap oleh imprint paradoks.

Bagaimana sekarang ? tak ada penerbit yang mau menjual bukunya di kios kaki lima lagi seperti Gultom agency. Tapi industri rokok melihat cara pemasaran gultom benar-benar ampuh, mereka para marketing perusahaan rokok berani mempercayakan beberapa slot rokoknya ke pedagang eceran untuk dijual kembali. Satu slot isi sepuluh bungkus, anggaplah satu bungkus seharga Rp. 10.000 x 10 bungkus = Rp. 100.000 lebih mahal dari harga buku-buku obralan di Gramedia Express. Dan hasilnya hampir sebagian besar masyarakat Indonesia kerajinan mengkonsumsi rokok daripada mengkonsumsi buku.

                Padahal buku seminim apapun mutunya akan merangsang kita untuk gemar membaca, lalu ketika bertambahnya umur akan memetakan pikiran untuk membaca buku-buku berkualitas. Itu yang saya alami setelah bekerja, memiliki penghasilan sendiri lalu memutuskan untuk mulai beralih pada buku-buku non fiksi khususnya penulisan dan agama.

                Apa jadinya jika pemasaran hanya tertitik di bookstore yang setiap bulannya dikepung buku baru ? buku lama yang tak bergerak selama enam bulan berturut-turut akan diturunkan dari rak display, lalu berpindah ke boks obralan, kalau tidak juga laku ya dikembalikan ke penerbit, setelah itu menumpuk di gudang. Sehingga penulis sekarang dituntut bukan sekedar menulis buku tapi juga menjadi pemasar untuk buku yang ditulisnya.

                Rumit dan berat untuk penulis yang punya phobia social atau seorang introvert untuk berpikir tentang pemasaran padahal ia sendiri mungkin menulis karena ingin menyepi. Inginnya penerbit seperti para supervisor kartu kredit yang membeli data nasabah bank lain untuk pemasarannya.

                Tapi bukan data nasabah kartu kredit yang dibeli penerbit melainkan data kios yang dititipkan slot rokok oleh para marketing industri rokok.  Atau mencoba cara-cara pemasaran Koran tribun daerah yang menitip jual pada mini market dan pom bensin yang lumayan berdampak untuk meningkatkan oplah.

                Penerbit euthenia sudah memulai, bekerjasama dengan Indomaret mereka memasarkan buku saya Akulah Malaikat Hatimu di gerai-gerai indomaret. Menjangkau warga desa yang memiliki kecukupan uang namun jauh dari bookstore untuk membeli buku-buku terbitan mereka. Hasilnya, buku Akulah Malaikat Hatimu mendapat respon yang jauh lebih tinggi daripada buku saya lainnya yang terpajang di gerai bookstore. Itu terbaca dari tweet yang saya terima sejak buku ini di pajang di rak indomaret seluruh Indonesia akhir November 2014 lalu.

                Saya menunggu penerbit lain menjajaki kerjasama serupa. Atau alfamart yang membuka diri untuk penjualan buku seperti indomaret. Menunggu para pemilik gerai waralaba resto cepat saji yang tak hanya menjual CD music tapi juga buku –buku karya penulis local. Pada akhirnya jika semua ruang pemasaran telah dijajaki, mungkin akan ada harapan industri buku fisik akan tetap bertahan ditengah gempuran E Book  dan minat baca masyarakat Indonesia yang hanya 0,001% akan kembali meningkat seperti pada era 80-90an.
                 

               

                  

4 komentar:

  1. ih takjub ya sama cara kerjanya pedagang..ternyata jk penerbit bersedia melihat peluang hingga ke lokasi pelosok, dpt menyejahterakan penulisnya juga ya mba

    BalasHapus
  2. ketty husnia : iya, itu yang saya tunggu. berharap di awal tahun ini ada gebrakan dari banyak penerbit untuk membuat model-model pemasaran yang baru :)

    BalasHapus
  3. Boleh tau cara menerbitkan novel di penerbit euthenia?

    BalasHapus
  4. Kirim naskah ke euthenia gimana caranya ya? Saya kesusahan dalam mencari link nya.
    Bow, iu mayor atau minor?

    Terimakasih. :-)

    BalasHapus