Ingat gultom agency ? atau pernah
dengar tentang buku-buku gultom agency ? kalau tidak saya terangkan dulu.
Gultom
agency ini dulunya penerbit komik dan novel untuk kelas menengah yang berkantor
di daerah senen. Novel dan komiknya tak pernah masuk bookstore (jaman dulu
gramedia matraman yang saya tahu), tapi di pasarkan secara manual turun ke
lapangan.
Harga komiknya seingat saya dulu dua ratus lima
puluh rupiah. Itu jaman saya SD tahun 80-an dan belinya di pedagangan mainan
keliling. Seri yang saya beli petruk dan gareng. Saya harus menabung tiga hari
untuk membeli komik ini, karena uang jajan saya waktu itu hanya seratus rupiah.
Balik
ke gultom agency, novel-novelnya dulu di jual di kios kaki lima dan terminal. Di
kios dekat rumah pas tahun 90an sekitar dua ribu lima ratus. untuk ukuran uang jajan saya
yang tujuh ratus lima puluh rupiah masih belum terjangkau. Jadi lebih seringnya
saya sewa berbagai macam buku dari taman bacaan dekat rumah atau pinjam pada
teman yang memiliki koleksi buku lengkap.
Pemasaran
yang langsung turun ke lapangan dan menarik orang untuk membeli ternyata
benar-benar ampuh. Mereka yang jauh dari bookstore atau memang enggan
menginjakkan kaki ke bookstore terangsang untuk membeli. Walaupun mungkin
isinya dianggap kacangan dibanding buku-buku terbitan grup gramedia seperti serial
NINA.
Novel
dan komik itu laris, sebagian novel dibeli hak ciptanya oleh penerbit di Malaysia
dan brunei, sebagian kecil novel ada yang di filmkan dan sebagian lainnya
diterbitkan ulang penerbit besar seperti yang terjadi pada novel Abdullah harahap
oleh imprint paradoks.
Bagaimana sekarang
? tak ada penerbit yang mau menjual bukunya di kios kaki lima lagi seperti
Gultom agency. Tapi industri rokok melihat cara pemasaran gultom benar-benar
ampuh, mereka para marketing perusahaan rokok berani mempercayakan beberapa
slot rokoknya ke pedagang eceran untuk dijual kembali. Satu slot isi sepuluh
bungkus, anggaplah satu bungkus seharga Rp. 10.000 x 10 bungkus = Rp. 100.000
lebih mahal dari harga buku-buku obralan di Gramedia Express. Dan hasilnya
hampir sebagian besar masyarakat Indonesia kerajinan mengkonsumsi rokok
daripada mengkonsumsi buku.
Padahal
buku seminim apapun mutunya akan merangsang kita untuk gemar membaca, lalu
ketika bertambahnya umur akan memetakan pikiran untuk membaca buku-buku
berkualitas. Itu yang saya alami setelah bekerja, memiliki penghasilan sendiri
lalu memutuskan untuk mulai beralih pada buku-buku non fiksi khususnya
penulisan dan agama.
Apa
jadinya jika pemasaran hanya tertitik di bookstore yang setiap bulannya
dikepung buku baru ? buku lama yang tak bergerak selama enam bulan
berturut-turut akan diturunkan dari rak display, lalu berpindah ke boks
obralan, kalau tidak juga laku ya dikembalikan ke penerbit, setelah itu
menumpuk di gudang. Sehingga penulis sekarang dituntut bukan sekedar menulis
buku tapi juga menjadi pemasar untuk buku yang ditulisnya.
Rumit
dan berat untuk penulis yang punya phobia social atau seorang introvert untuk berpikir
tentang pemasaran padahal ia sendiri mungkin menulis karena ingin menyepi. Inginnya
penerbit seperti para supervisor kartu kredit yang membeli data nasabah bank
lain untuk pemasarannya.
Tapi
bukan data nasabah kartu kredit yang dibeli penerbit melainkan data kios yang
dititipkan slot rokok oleh para marketing industri rokok. Atau mencoba cara-cara pemasaran Koran tribun
daerah yang menitip jual pada mini market dan pom bensin yang lumayan berdampak
untuk meningkatkan oplah.
Penerbit
euthenia sudah memulai, bekerjasama dengan Indomaret mereka memasarkan buku
saya Akulah Malaikat Hatimu di gerai-gerai indomaret. Menjangkau warga desa
yang memiliki kecukupan uang namun jauh dari bookstore untuk membeli buku-buku
terbitan mereka. Hasilnya, buku Akulah Malaikat Hatimu mendapat respon yang
jauh lebih tinggi daripada buku saya lainnya yang terpajang di gerai bookstore.
Itu terbaca dari tweet yang saya terima sejak buku ini di pajang di rak indomaret
seluruh Indonesia akhir November 2014 lalu.
Saya
menunggu penerbit lain menjajaki kerjasama serupa. Atau alfamart yang membuka
diri untuk penjualan buku seperti indomaret. Menunggu para pemilik gerai waralaba
resto cepat saji yang tak hanya menjual CD music tapi juga buku –buku karya
penulis local. Pada akhirnya jika semua ruang pemasaran telah dijajaki, mungkin
akan ada harapan industri buku fisik akan tetap bertahan ditengah gempuran E Book dan minat baca masyarakat Indonesia yang hanya
0,001% akan kembali meningkat seperti pada era 80-90an.
ih takjub ya sama cara kerjanya pedagang..ternyata jk penerbit bersedia melihat peluang hingga ke lokasi pelosok, dpt menyejahterakan penulisnya juga ya mba
BalasHapusketty husnia : iya, itu yang saya tunggu. berharap di awal tahun ini ada gebrakan dari banyak penerbit untuk membuat model-model pemasaran yang baru :)
BalasHapusBoleh tau cara menerbitkan novel di penerbit euthenia?
BalasHapusKirim naskah ke euthenia gimana caranya ya? Saya kesusahan dalam mencari link nya.
BalasHapusBow, iu mayor atau minor?
Terimakasih. :-)