Rabu, 03 Desember 2014

DPR, PKN DAN UAS SMP Kls. 2



Tadinya saya enggan menulis ini,  tapi judul berita kompas  online Anies Baswedan :  Pendidikan harus membuat siswa ketagihan bersekolah (1/12/ 2014) dengan Isi berita secara garis besar menekankan pada kualitas, mutu pendidikan serta angka kekerasan pelajar membuat saya akhirnya tergelitik untuk menuliskan hal ini.  

Sebagai orang tua dengan anak sulung yang duduk di bangku SMP  dan tengah mengikuti ujian semester. Gambaran saya ketika disodorkan buku Pendidikan Kewarganegaraan kelas 2 hari kamis malam jumat lalu. Untuk persiapan UAS Jumat, 28 November 2014. Buku itu akan memuat hal-hal penting siswa dalam mempelajari hak dan kewajibannya sebagai warga Negara.

Undang-undang apa yang bisa dipelajari anak dalam proses transisinya dari belia menjadi remaja. Seperti undang-undang lalu lintas, kasus kekerasan seksual, tawuran pelajar dan lain-lain yang berkaitan dengan realitas, kriminalitas dan apa yang mungkin ditemuinya diluar sana dan bisa memberi sirene dalam dirinya untuk dijauhi.

Realitas isi buku materi ujian semester 1 ?

isinya bab 1 tentang pancasila sebagai dasar negara diterangkan secara formil sehingga lebih mengena sebagai hapalan daripada pemahaman untuk anak SMP

pada bab 2 lembaga – lembaga Negara, ini setengah hati saya menerangkan karena realitas dan isi buku sama memuakkan.

Ada bagian dalam isi buku yang menurut saya tak patut di hapal karena tak sesuai dengan UU MD3

Pasal 22E aya (2) dan pasal 18 ayat (4) : “anggota MPR (DPR dan DPD) , presiden dan wakil presiden, anggota DPRD dan kepala daerah beserta wakil dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum”

Hak,-hak MPR, tugas dan wewenang, alat kelengkapan MPR, DPR, dan Presiden. Terlalu banyak isi yang harus di hapal sementara siswa hanya murid sekolah bukan calon pejabat yang dipersiapkan untuk menjadi salah satu anggota dari badan tersebut.

Bolehlah mempelajarinya, tapi secara singkat lembaga tersebut. bukan berpanjang ria yang memperbanyak halaman isi buku yang sama sekali kurang sesuai dengan kebutuhan anak SMP yang buta tentang hak dan kewajiban mereka sebagai warga Negara, hukum apa yang mungkin bersentuhan dengan mereka dan kehidupan seperti apa yang harus mereka hadapi diluar sana.

Pendidikan kewarganegaraan yang tepat akan memberi policy dalam otak mereka untuk tak melakukan hal-hal yang disebutkan Pak Anies sebagai kekerasan pelajar.

Apa yang dihasilkan dalam uraian bab 2 tentang fungsi DPR ? 

anak-anak yang mungkin bercita-cita menjadi anggota DPR karena luasnya kewenangan untuk membentuk undang-undang, menganggarkan APBN dan mengawasi kebijakan.

Ini bukan isi buku yang saya ingin anak saya hapalkan, ini isi buku yang sama sekali tak mendidiknya sebagai warga Negara karena banyak hal yang hanya berupa uraian tanpa maksud untuk dipahami.

Lebih memuakkan lagi ketika sesi tanya jawab dengan anak tentang alat kelengkapan DPR. Membuat saya teringat kenapa SDM di DPR sampai sekarang belum bekerja. Hasilnya ?

anak :  jadi di hapal gak ma ?

saya : terserah kamu

anak : atau nyontek aja

saya : nyontek itu yang bikin semua orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya
anak : jadi….

Me : semampunya aja. Karena kiki  ngelamar kerja nanti juga nggak ada yang nanya soal DPR

Kualitas, mutu pendidikan, dan kekerasan pada anak saling memiliki kaitan. Pendidikan yang menekankan pada IQ, materi yang hanya menuntut hapalan dan hitungan hanya akan menghasilkan robot pekerja.

Materi pendidikan harusnya dikembangkan bersama dan disesuaikan dengan lokalitas atau umur anak. Semisal PKN yang menyesuaikan dengan usia pembelajarnya atau IPS dan Seni Budaya yang berisikan muatan daerah tempat siswa bersekolah sehingga siswa paham akan daerahnya.

Materi pelajaran yang tak beradaptasi dengan kekinian hanya akan menghasilkan sedikit siswa berhasil dibanding siswa tangguh yang mampu beradaptasi dengan lingkungan setelah lulus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar