Tadinya saya
enggan menulis ini, tapi judul berita
kompas online Anies Baswedan : Pendidikan
harus membuat siswa ketagihan bersekolah (1/12/ 2014) dengan Isi berita
secara garis besar menekankan pada kualitas,
mutu pendidikan serta angka kekerasan pelajar membuat saya akhirnya tergelitik
untuk menuliskan hal ini.
Sebagai orang
tua dengan anak sulung yang duduk di bangku SMP dan tengah mengikuti ujian semester. Gambaran
saya ketika disodorkan buku Pendidikan Kewarganegaraan kelas 2 hari kamis malam
jumat lalu. Untuk persiapan UAS Jumat, 28 November 2014. Buku itu akan memuat
hal-hal penting siswa dalam mempelajari hak dan kewajibannya sebagai warga
Negara.
Undang-undang
apa yang bisa dipelajari anak dalam proses transisinya dari belia menjadi
remaja. Seperti undang-undang lalu lintas, kasus kekerasan seksual, tawuran
pelajar dan lain-lain yang berkaitan dengan realitas, kriminalitas dan apa yang
mungkin ditemuinya diluar sana dan bisa memberi sirene dalam dirinya untuk
dijauhi.
Realitas isi
buku materi ujian semester 1 ?
isinya bab 1 tentang pancasila sebagai dasar
negara diterangkan secara formil sehingga lebih mengena sebagai hapalan
daripada pemahaman untuk anak SMP
pada bab 2 lembaga – lembaga Negara, ini
setengah hati saya menerangkan karena realitas dan isi buku sama memuakkan.
Ada bagian
dalam isi buku yang menurut saya tak patut di hapal karena tak sesuai dengan UU MD3
Pasal 22E aya (2) dan pasal 18 ayat (4) :
“anggota MPR (DPR dan DPD) , presiden dan wakil presiden, anggota DPRD dan
kepala daerah beserta wakil dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan
umum”
Hak,-hak MPR, tugas dan wewenang, alat
kelengkapan MPR, DPR, dan Presiden. Terlalu banyak isi yang harus di hapal
sementara siswa hanya murid sekolah bukan calon pejabat yang dipersiapkan untuk
menjadi salah satu anggota dari badan tersebut.
Bolehlah
mempelajarinya, tapi secara singkat lembaga tersebut. bukan berpanjang ria yang
memperbanyak halaman isi buku yang sama sekali kurang sesuai dengan kebutuhan
anak SMP yang buta tentang hak dan kewajiban mereka sebagai warga Negara, hukum
apa yang mungkin bersentuhan dengan mereka dan kehidupan seperti apa yang harus
mereka hadapi diluar sana.
Pendidikan kewarganegaraan
yang tepat akan memberi policy dalam otak mereka untuk tak melakukan hal-hal
yang disebutkan Pak Anies sebagai kekerasan pelajar.
Apa yang
dihasilkan dalam uraian bab 2 tentang fungsi DPR ?
anak-anak yang
mungkin bercita-cita menjadi anggota DPR karena luasnya kewenangan untuk
membentuk undang-undang, menganggarkan APBN dan mengawasi kebijakan.
Ini bukan isi
buku yang saya ingin anak saya hapalkan, ini isi buku yang sama sekali tak
mendidiknya sebagai warga Negara karena banyak hal yang hanya berupa uraian
tanpa maksud untuk dipahami.
Lebih
memuakkan lagi ketika sesi tanya jawab dengan anak tentang alat kelengkapan DPR. Membuat saya teringat kenapa SDM di DPR sampai
sekarang belum bekerja. Hasilnya ?
anak : jadi di hapal gak ma ?
saya : terserah kamu
anak : atau nyontek aja
saya : nyontek itu yang bikin
semua orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keinginannya
anak : jadi….
Me : semampunya aja. Karena
kiki ngelamar kerja nanti juga nggak ada
yang nanya soal DPR
Kualitas, mutu
pendidikan, dan kekerasan pada anak saling memiliki kaitan. Pendidikan yang
menekankan pada IQ, materi yang hanya menuntut hapalan dan hitungan hanya akan
menghasilkan robot pekerja.
Materi
pendidikan harusnya dikembangkan bersama dan disesuaikan dengan lokalitas atau
umur anak. Semisal PKN yang menyesuaikan dengan usia pembelajarnya atau IPS dan
Seni Budaya yang berisikan muatan daerah tempat siswa bersekolah sehingga siswa
paham akan daerahnya.
Materi
pelajaran yang tak beradaptasi dengan kekinian hanya akan menghasilkan sedikit
siswa berhasil dibanding siswa tangguh yang mampu beradaptasi dengan lingkungan
setelah lulus
Tidak ada komentar:
Posting Komentar