Penerbit : Bhuana Sastra
Cetakan : Agustus 2017
Blurb : Akankah kematian mampu membuatnya berhenti untuk menyukai seseorang? Atau sebaliknya kematian membuatnya ingin mengejar cinta?
Chapter 1 : Drama Kematian
Syuting reality show telah berakhir, Mada meninggalkan set dekor menuju ruang ganti untuk mengganti wardrobe yang dikenakannya.
"Aku sudah menyelesaikan syuting program reality show-nya. Setelah ini schedule-ku kemana ?" Mada menghubungi Managernya melalui smartphone ditangannya.
Ia tak seperti artis lainnya yang kadang menyempatkan diri berhahahihi dengan kru atau rekan artis lainnya. Mada memilih menghindari hal-hal yang bisa menciptakan gosip tak sedap tentangnya.
"Sudah tidak ada lagi. Kau bisa pulang sekarang" Managernya menjawab di seberang telphone.
"Ok, trims" Mada menutup smartphone-nya. Membuka pintu ruang ganti dan masuk ke dalam. Ia mengganti wardrobe yang dikenakannya dengan baju pribadinya. Setelah selesai Ia beranjak meninggalkan ruangan.
"Da, balik ?" Rekan sesama artis menyapa Mada saat mereka berpapasan di koridor kantor stasiun televisi tempatnya syuting reality show.
"He eh. Udah kelar soalnya syutingnya. Duluan ya" Mada pamit. Ia meneruskan langkah menuju pintu keluar gedung.
Tiba di mobilnya suzuki swift sporty, Mada menghubungi seseorang dari smartphone-nya.
"Ada pertandingan malam ini ?"
"Kau tidak baca berita ?. Ada yang tertabrak saat balapan liar malam minggu kemarin."
Mada menyalakan stop kontak "Bagaimana ceritanya ?"
"Pemain baru, belum mampu menguasai arena balap liar. Dia menabrak penonton saat mencoba menyalip."
"Gila" Mada mengemudikan mobilnya meninggalkan area parkir gedung stasiun televisi.
"Sementara balapan vakum untuk mengecoh aparat. Kalau kasusnya sudah tak ramai dibicarakan pertandingan baru akan dimulai lagi."
"Oh, kalau begitu Aku akan langsung pulang. Trims atas informasinya" Mada mematikan sambungan telphone-nya dan membelokkan mobilnya ke arah pintu tol.
Ia mengambil tiket tol dan meletakkannya di dashboard. Setelah itu menarik tuas transmisi ke angka empat dan menginjak gas dalam-dalam.
Inilah dunia Mada dikala melepas penat dengan pekerjaan. Ia tak seperti kebanyakan rekan artis lain yang hobby menghadiri pesta atau kongkow di klub-klub malam. Ia lebih suka bermain-main dengan ketegangan yang memacu adrenaline-nya.
Mobil melaju kencang, Mada melihat sekilas speedometer di depan kemudi. Ia kemudian fokus mengemudi dan menyalip satu persatu mobil-mobil yang melintas di depannya. Ketika jarum speedometer menunjukkan angka diatas seratus sepuluh Mada buru-buru meraih smartphone dan memotretnya. Ia kemudian menyungging senyum dan menurunkan kecepatan mobilnya.
Sambil mengemudi Mada mengupdates foto speedometer-nya di tweeter. Beberapa komen dari teman dan fans-nya masuk.
Retweet @nida love Mada : Keren.
Retweet @bagas : Ga tanding tetep ngebut ya bro !.
Retweet @Madaholic : Ajib !.
Retweet @Leo : Nunggu up datesan yang 140-nya.
Mada tersenyum membaca satu persatu retweet. Tapi mendadak senyumnya menghilang dan smartphone ditangannya terlepas dari genggaman saat melihat sesosok makhluk berjubah putih dengan cahaya terang yang duduk disebelahnya.
Mada terpaku, segera Ia membanting stir menepikan kendaraannya di tepi jalan tol yang sepi. Hanya ada lalu lalang kendaraan yang melintas di sebelah kanan mobilnya dan tak sempat Ia perhatikan.
"Si....siapa kau ?" Gemetar Mada bertanya.
"Aku Malaikat maut. Aku datang untuk memberitahumu," sosok yang duduk disebelahnya memberitahu.
"Apa yang Kau ingin katakan padaku ?."
"Masa hidupmu hampir habis. Dan dalam waktu beberapa hari lagi ajal akan menjemputmu. Sebelum pergi Kau boleh memberi isyarat atau tanda pada orang-orang terdekatmu, tapi satu yang tidak boleh dilakukan olehmu yaitu mengatakan kebenarannya."
Antara takut dan tak percaya Mada menggelengkan kepala pelan.
"Kau boleh tidak percaya akan apa yang Ku katakan. Aku hanya menyampaikan amanah yang dititipkan padaku. Satu yang Ku peringatkan padamu mengenai hal ini, jangan pernah berniat mengatakan pada orang lain. Karena jika sampai niatan itu tercetus, Aku akan mencabut nyawamu lebih cepat sebelum Kau sempat mengatakannya," Malaikat maut menghilang begitu selesai bicara.
Untuk beberapa saat Mada terpaku, Ia masih tak mempercayai apa yang barusan terjadi. Itu seperti mimpi, melihat sesosok cahaya berjubah putih yang bicara dengannya dan kemudian menghilang.
Mada mengusap wajahnya berulang kali seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa apa yang tadi didengarnya sama sekali bohong dan tak harus dipercayai.
"Aku sehat, Aku tak mungkin mati muda. Aku akan berhenti dari balapan liar untuk menghindar dari takdir kematian," Mada mencoba menenangkan hatinya. Ia membungkuk ke bawah mencari smartphone-nya.
Setelah meraba-raba karpet mobil, Ia akhirnya menemukan dan meletakkan di console box. Tak ingin lagi melihat retweet yang masuk dan mulai mengemudi dengan kecepatan rata-rata diangka enam puluh hingga delapan puluh kilometer per jam.
*****
Mada tiba dirumah, Ibunya yang membukakan pintu. Ia masuk dan melihat adiknya yang masih menonton FTV yang dibintanginya.
"Kak, tumben pulang cepat ?" Mila adiknya yang duduk di bangku kelas dua SMU menyapa.
"Syutingnya selesai cepat, jadi ya bisa pulang cepat" Mada menjawab apa adanya.
"Kau sudah makan atau belum ?" Ibunya yang berjalan dibelakangnya bertanya.
"Belum. Tapi Mada belum lapar. Masih ingin istirahat dulu dikamar," Mada masuk ke kamarnya dan menutup pintu dari dalam.
Ibunya yang sejak tadi berjalan membuntuti Mada melongo di depan pintu "Hari ini kakakmu aneh."
Ibu Mada menghampiri Mila yang duduk di sofa depan televisi. Ia ikut duduk disebelah putri bungsunya "Kenapa dengannya ?"
"Akh Ibu, biasa itu. Paling baru putus dari pacarnya," Mila tak terlalu memperhatikan, asyik menonton FTV yang dibintangi kakaknya.
Sementara Ibunya masih terpecah konsentrasi pada putra sulungnya "Apa jangan-jangan karirnya meredup."
Ibu Mada dilanda cemas, Ia takut kalau karir Mada benar-benar meredup kehidupan mereka akan kembali seperti semula. Ia harus mengkreditkan baju keliling kampung dan tak lagi bisa hidup santai.
"Sudah Bu, jangan kelewat memikirkan Kak Mada. Nanti tensi Ibu naik. Mending nonton FTV kak Mada saja, biar besok kalau diajak ngobrol sama Ibu-Ibu komplek Ibu nyambung."
Mendengar teguran Mila, lamunan Ibu Mada langsung buyar. Ia yakin karir Mada belum surut, buktinya anak sulungnya masih membintangi FTV dan mendapat banyak job setiap harinya.
Mada merebahkan tubuhnya diranjang tanpa mengganti bajunya atau melepas sepatunya seperti yang biasa Ia lakukan tiap kali tiba dikamar.
Matanya masih menatap nanar langit-langit kamar dengan tangan terlipat dibelakang kepala sebagai bantalan.
"Aku melihat dengan jelas sosoknya, tak mungkin itu setan. Dia bercahaya, sedang setan yang Ku tahu terbuat dari api dan pasti akan menimbulkan hawa panas jika Kami duduk bersebelahan."
Benak Mada terus tertuju pada sosok yang ditemuinya tadi "Bisakah Aku menghindar dari takdir kematian seperti dalam Final Destination ?"
*** available at http://www.gramedia.com/segitiga-cinta-dua-dunia.html
Cetakan : Agustus 2017
Blurb : Akankah kematian mampu membuatnya berhenti untuk menyukai seseorang? Atau sebaliknya kematian membuatnya ingin mengejar cinta?
Chapter 1 : Drama Kematian
Syuting reality show telah berakhir, Mada meninggalkan set dekor menuju ruang ganti untuk mengganti wardrobe yang dikenakannya.
"Aku sudah menyelesaikan syuting program reality show-nya. Setelah ini schedule-ku kemana ?" Mada menghubungi Managernya melalui smartphone ditangannya.
Ia tak seperti artis lainnya yang kadang menyempatkan diri berhahahihi dengan kru atau rekan artis lainnya. Mada memilih menghindari hal-hal yang bisa menciptakan gosip tak sedap tentangnya.
"Sudah tidak ada lagi. Kau bisa pulang sekarang" Managernya menjawab di seberang telphone.
"Ok, trims" Mada menutup smartphone-nya. Membuka pintu ruang ganti dan masuk ke dalam. Ia mengganti wardrobe yang dikenakannya dengan baju pribadinya. Setelah selesai Ia beranjak meninggalkan ruangan.
"Da, balik ?" Rekan sesama artis menyapa Mada saat mereka berpapasan di koridor kantor stasiun televisi tempatnya syuting reality show.
"He eh. Udah kelar soalnya syutingnya. Duluan ya" Mada pamit. Ia meneruskan langkah menuju pintu keluar gedung.
Tiba di mobilnya suzuki swift sporty, Mada menghubungi seseorang dari smartphone-nya.
"Ada pertandingan malam ini ?"
"Kau tidak baca berita ?. Ada yang tertabrak saat balapan liar malam minggu kemarin."
Mada menyalakan stop kontak "Bagaimana ceritanya ?"
"Pemain baru, belum mampu menguasai arena balap liar. Dia menabrak penonton saat mencoba menyalip."
"Gila" Mada mengemudikan mobilnya meninggalkan area parkir gedung stasiun televisi.
"Sementara balapan vakum untuk mengecoh aparat. Kalau kasusnya sudah tak ramai dibicarakan pertandingan baru akan dimulai lagi."
"Oh, kalau begitu Aku akan langsung pulang. Trims atas informasinya" Mada mematikan sambungan telphone-nya dan membelokkan mobilnya ke arah pintu tol.
Ia mengambil tiket tol dan meletakkannya di dashboard. Setelah itu menarik tuas transmisi ke angka empat dan menginjak gas dalam-dalam.
Inilah dunia Mada dikala melepas penat dengan pekerjaan. Ia tak seperti kebanyakan rekan artis lain yang hobby menghadiri pesta atau kongkow di klub-klub malam. Ia lebih suka bermain-main dengan ketegangan yang memacu adrenaline-nya.
Mobil melaju kencang, Mada melihat sekilas speedometer di depan kemudi. Ia kemudian fokus mengemudi dan menyalip satu persatu mobil-mobil yang melintas di depannya. Ketika jarum speedometer menunjukkan angka diatas seratus sepuluh Mada buru-buru meraih smartphone dan memotretnya. Ia kemudian menyungging senyum dan menurunkan kecepatan mobilnya.
Sambil mengemudi Mada mengupdates foto speedometer-nya di tweeter. Beberapa komen dari teman dan fans-nya masuk.
Retweet @nida love Mada : Keren.
Retweet @bagas : Ga tanding tetep ngebut ya bro !.
Retweet @Madaholic : Ajib !.
Retweet @Leo : Nunggu up datesan yang 140-nya.
Mada tersenyum membaca satu persatu retweet. Tapi mendadak senyumnya menghilang dan smartphone ditangannya terlepas dari genggaman saat melihat sesosok makhluk berjubah putih dengan cahaya terang yang duduk disebelahnya.
Mada terpaku, segera Ia membanting stir menepikan kendaraannya di tepi jalan tol yang sepi. Hanya ada lalu lalang kendaraan yang melintas di sebelah kanan mobilnya dan tak sempat Ia perhatikan.
"Si....siapa kau ?" Gemetar Mada bertanya.
"Aku Malaikat maut. Aku datang untuk memberitahumu," sosok yang duduk disebelahnya memberitahu.
"Apa yang Kau ingin katakan padaku ?."
"Masa hidupmu hampir habis. Dan dalam waktu beberapa hari lagi ajal akan menjemputmu. Sebelum pergi Kau boleh memberi isyarat atau tanda pada orang-orang terdekatmu, tapi satu yang tidak boleh dilakukan olehmu yaitu mengatakan kebenarannya."
Antara takut dan tak percaya Mada menggelengkan kepala pelan.
"Kau boleh tidak percaya akan apa yang Ku katakan. Aku hanya menyampaikan amanah yang dititipkan padaku. Satu yang Ku peringatkan padamu mengenai hal ini, jangan pernah berniat mengatakan pada orang lain. Karena jika sampai niatan itu tercetus, Aku akan mencabut nyawamu lebih cepat sebelum Kau sempat mengatakannya," Malaikat maut menghilang begitu selesai bicara.
Untuk beberapa saat Mada terpaku, Ia masih tak mempercayai apa yang barusan terjadi. Itu seperti mimpi, melihat sesosok cahaya berjubah putih yang bicara dengannya dan kemudian menghilang.
Mada mengusap wajahnya berulang kali seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa apa yang tadi didengarnya sama sekali bohong dan tak harus dipercayai.
"Aku sehat, Aku tak mungkin mati muda. Aku akan berhenti dari balapan liar untuk menghindar dari takdir kematian," Mada mencoba menenangkan hatinya. Ia membungkuk ke bawah mencari smartphone-nya.
Setelah meraba-raba karpet mobil, Ia akhirnya menemukan dan meletakkan di console box. Tak ingin lagi melihat retweet yang masuk dan mulai mengemudi dengan kecepatan rata-rata diangka enam puluh hingga delapan puluh kilometer per jam.
*****
Mada tiba dirumah, Ibunya yang membukakan pintu. Ia masuk dan melihat adiknya yang masih menonton FTV yang dibintanginya.
"Kak, tumben pulang cepat ?" Mila adiknya yang duduk di bangku kelas dua SMU menyapa.
"Syutingnya selesai cepat, jadi ya bisa pulang cepat" Mada menjawab apa adanya.
"Kau sudah makan atau belum ?" Ibunya yang berjalan dibelakangnya bertanya.
"Belum. Tapi Mada belum lapar. Masih ingin istirahat dulu dikamar," Mada masuk ke kamarnya dan menutup pintu dari dalam.
Ibunya yang sejak tadi berjalan membuntuti Mada melongo di depan pintu "Hari ini kakakmu aneh."
Ibu Mada menghampiri Mila yang duduk di sofa depan televisi. Ia ikut duduk disebelah putri bungsunya "Kenapa dengannya ?"
"Akh Ibu, biasa itu. Paling baru putus dari pacarnya," Mila tak terlalu memperhatikan, asyik menonton FTV yang dibintangi kakaknya.
Sementara Ibunya masih terpecah konsentrasi pada putra sulungnya "Apa jangan-jangan karirnya meredup."
Ibu Mada dilanda cemas, Ia takut kalau karir Mada benar-benar meredup kehidupan mereka akan kembali seperti semula. Ia harus mengkreditkan baju keliling kampung dan tak lagi bisa hidup santai.
"Sudah Bu, jangan kelewat memikirkan Kak Mada. Nanti tensi Ibu naik. Mending nonton FTV kak Mada saja, biar besok kalau diajak ngobrol sama Ibu-Ibu komplek Ibu nyambung."
Mendengar teguran Mila, lamunan Ibu Mada langsung buyar. Ia yakin karir Mada belum surut, buktinya anak sulungnya masih membintangi FTV dan mendapat banyak job setiap harinya.
Mada merebahkan tubuhnya diranjang tanpa mengganti bajunya atau melepas sepatunya seperti yang biasa Ia lakukan tiap kali tiba dikamar.
Matanya masih menatap nanar langit-langit kamar dengan tangan terlipat dibelakang kepala sebagai bantalan.
"Aku melihat dengan jelas sosoknya, tak mungkin itu setan. Dia bercahaya, sedang setan yang Ku tahu terbuat dari api dan pasti akan menimbulkan hawa panas jika Kami duduk bersebelahan."
Benak Mada terus tertuju pada sosok yang ditemuinya tadi "Bisakah Aku menghindar dari takdir kematian seperti dalam Final Destination ?"
*** available at http://www.gramedia.com/segitiga-cinta-dua-dunia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar