Sabtu, 26 November 2016

Tentang rasa yang ingin mencari jawab Chapter 1

Perjumpaan tak sengaja

Beberapa meja gambar dan meja computer serta dua maket  pabrik dan apartement menghiasi ruang kantor sebuah perusahaan arsitektur dan juga jasa kontraktor.  

            Sejak kemarin siang Sani dan Arbi dua orang arsitek yang bergabung diperusahaan tersebut belum pulang. Mereka terpaksa lembur karena ada proyek pembuatan design konduminium yang harus dikejar. Gambar baru selesai di buat Arbi dan Sani keesokan harinya.
            
             “ Akhirnya bisa liburan,“  Sani menarik nafas lega.
            “ Liburan ?. Kok nggak ngajak-ngajak ?“ Arbi yang dari awal bekerja berteman akrab dengan Sani melirik ke arah rekannya.
            “ Ke resort Kalianda besok, mau nggak ?“ Sani mengambil dua sachet kopi instant dari lacinya. Lalu beranjak ke dispenser yang ada disudut ruangan untuk menyeduhnya dalam gelas yang tersedia di meja samping dispenser.
            “Mau banget, ajak Miranti boleh kan ? “  Arbi menerima segelas kopi yang dibuatkan Sani.
            “Boleh,“ sambil menjawab Sani kembali duduk di kursinya.
            “Ada acara apa sih ?”
            “Adik baru lulus sarjana, ortu kasih hadiah liburan buat Dia,“
            Arbi ber ‘Oh…’ panjang
            “Ntar Aku tanya Miranti mau ikut apa nggak tuh anak .“
            “Nafsu banget ngajak Miranti.“
            “Namanya juga pacar, kaya nggak pernah pacaran aja“  Arbi meninju lengan Sani.
            “Sebelum sama Miranti udah berapa kali ganti ? “  pertanyaan Sani seolah membuka kenangan Arbi kembali.
            “ Baru sekali. Namanya Blue, Dia misterius tapi ngangenin“ Arbi menerawang mengingatnya.
            “Sekarang kemana ?“
            “Ke laut !“ selesai menjawab Arbi beranjak dari kursinya.
      “Aku pulang duluan San“  Arbi meninggalkan kantornya dan mengemudikan mobilnya pergi meninggalkan halaman parkir. Ia menuju ke plaza tempat kekasihnya bekerja sebagai supervisor pengelola.
           
           Sepanjang perjalanan menuju plaza Ia mengenang kembali sosok Blue, gadis yang Ia kenal secara tak sengaja semasa kuliah dulu. Lewat chat room yahoo lalu berlanjut ke kopi darat. Gadis itu dengan rautnya yang selalu tampak murung dan sikapnya yang menyimpan misteri membuat Ia jatuh cinta dan ingin melindungi.
          
      “Sebenarnya Aku hanya ingin mempermainkanmu, sama seperti  pria-pria sebelumnya yang kutemui di chat room.”
      
      Tapi kalimat penolakannya yang pedas waktu itu mengubah rasa cintanya dulu menjadi luka yang tak tersembuhkan hingga sekarang. Pun Miranti datang memasuki hidupnya dan menawarkan cinta untuknya, Arbi masih tetap mengingat luka itu.

       Dari lobby pintu masuk plaza Arbi bisa melihat Miranti yang tengah menyiapkan pernak-pernik menjelang Imlek. Gadis itu menggeser pohon jeruk imitasi yang tadi diletakkan maintenance di dekat escalator sedikit lebih ke samping sehingga tak menggangu pengunjung yang akan lewat.
            
       Miranti kemudian memberi pengarahan pada maintenance dan office boy yang membantunya dimana saja harus diletakkan pernak-pernik tersebut.

            “Lampion besarnya taruh di langit-langit lobby,“ Miranti memberi intruksi.  

Arbi yang telah tiba di dekatnya menghentikan langkah, Miranti yang menyadari tersenyum sekilas. Arbi membalas senyuman kekasihnya dan membiarkan Miranti menyelesaikan pekerjaannya.

            “ Hiasan lampu mercon dan gambar patung dewa uangnya letakkan di tiap muka area counter. “
            “Baik Bu,“ Maintenance dan office boy yang ada mengangguk paham.
       “Sekarang Saya tinggal dulu, besok Saya akan Lihat hasil kerja kalian,“ Selesai bicara Miranti menghampiri Arbi.
            “Tumben menyusul kemari tanpa menelphone dulu,”
       “Mau memberi kejutan. Aku mau mengajakmu makan malam” Arbi meraih pundaknya dan mengajaknya berlalu menuju salah satu café yang ada.
            “Alasan. Pasti ada yang mau Kau katakan,“ Miranti menebak.
            “Benar. Aku mau mengajakmu liburan” Arbi mengedip ke arahnya. Ia mengajak Miranti duduk di salah satu meja yang kosong.
            “ Mau pesan apa ?” Arbi bertanya saat pelayan menghampiri meja mereka.
            “Nasi kari kambing, minumnya jus terong belanda” Miranti menyebutkan pesanannya.
            “Nasi kari kambing dan jus terong belanda dua” Arbi mengulang pesanan pada pelayan.
            “Kau mau mengajakku liburan kemana ?” sembari menunggu pesanan mereka di hidangkan Miranti meneruskan obrolan yang sempat terputus.
            “Resort Kalianda, Lampung. Sani yang mengajak kesana, merayakan kelulusan adiknya.”
            “Kapan berangkatnya ?”
            “Besok”
            “Oh”
            “Jadi bagaimana, Kau bisa ikut ?” Arbi bertanya penuh harap.

            Miranti menggeleng pelan.

 “ Jadi tidak bisa ?,“  wajah Arbi menyiratkan kecewa ketika mendengar jawaban Miranti yang tak bisa ikut bersamanya ke Bandar Lampung.
            “ Kalau besok pasti tidak bisa, akhir pekan pengunjung mall ramai. Paling satu dua hari lagi baru bisa berangkat.“
            “Jadi bagaimana ? Aku berangkat duluan dan Kau menyusul ?. Atau Kita berangkat sama-sama lusa ?“
            “Kau duluan dengan Sani juga tak masalah. Yang penting setibanya Aku disana Kau menjemputku di pelabuhan. Aku kan tidak mau kesasar”
            “Baik tuan putri” Arbi menggodanya.
“Kau ini” Miranti menatap gemas. Ia hendak memukul tangan Arbi. Tapi Arbi sigap meraih jemari Miranti dan mengenggamnya mesra. 

Dipandanginya gadis itu lekat-lekat. Tiap kali bersamanya, Arbi seperti menemukan kedamaian cinta yang sempat hilang dari hatinya.

            Pelabuhan Bakahueni sudah nampak terlihat, tinggal beberapa ratus meter lagi kapal merapat di anjungan. Sani dan Arbi beringsut dari kursinya dan bersiap-siap untuk turun.

            “Aku telephone adikku dulu,“ Sani mengeluarkan ponselnya dari saku dan menghubungi  nomer ponsel adiknya.
            “Mbun, Kakak sudah sampai Bakahueni. Tolong jemput ya.“ setelah Embun menjawab telphonenya Sani bicara.

            Embun yang sedari tadi menemani Ibunya menonton televisi di dalam cottage segera beranjak  dari sofa.

            “Kak Sani bawa hadiah apa untuk Embun ?“ Embun tampak riang mendengar suara Kakaknya.
            “Rahasia ,“ selesai menjawab Sani memutus pembicaraan.

      Embun tersenyum kecut ke arah Ibunya yang baru saja mematikan layar televisi dan tengah memandanginya.

            “Kak Sani bilang apa ?” Ibunya bertanya lembut.
            “Minta dijemput di pelabuhan.“
            “Ya sudah sana berangkat.“ 

 Embun mengiyakan, Ia segera bergegas ke teras depan menemui Ayahnya yang sedang membaca Koran.

            “Yah, Embun pinjem kunci mobil.“
            “ Jemput Kakakmu ? “ sambil menyodorkan kunci mobil yang sedari tadi tergeletak di atas meja teras Ayah Embun bertanya
            “Iya.“
            “Hati-hati bawa mobil. Anak perempuan kalau mengemudi jangan ngebut.“
       “Iya Ayah, Ayah pokoknya tenang aja deh. Embun nggak bakalan ngebut.“  Embun berlari menghampiri  mobil  jeep  yang terparkir di dekat pantai.

Hampir lima belas menitan Sani dan Arbi menunggu di halaman parkir pelabuhan Bakaheuni, hingga sebuah jeep  yang  warna dan nomer mobilnya dihapal Sani meluncur masuk ke area parkir. Sani segera mengajak Arbi menghampirinya.

           “Akan Ku kenalkan Kau pada adikku,“  tiba disamping mobil Sani mengetuk kaca jendelanya.

        Embun membuka pintu dan turun, matanya tanpa sengaja bersitatap dengan Arbi yang berdiri disamping Kakaknya.

           Angel,” Embun menggumam dalam hati.
            Blue,“  batin Arbi menyebut sebuah nama. Ia  tak percaya melihat gadis itu lagi.
            “Namanya Embun, Dia adikku.“  Sani memecah keterpakuan diantara mereka.
      “Saya Arbi rekan kerja Kakakmu,“ masih dalam keterkejutan Arbi mengulurkan tangan untuk bersalaman.

           Embun sempat tertegun sebelum membalas uluran tangan tersebut.

           “Embun.“  

           Arbi menyentuh jemari lentik itu, ada sesuatu yang melingkar di jari manis Embun. Sebelum melepas jabat tangannya Arbi sempat memperhatikan.

           Cincin itu,“   hati Arbi berkata, reflek Ia ganti melihat ke leher Embun. Kalung pasangan cincin tersebut juga dikenakan gadis itu. Kalung dan cincin berinisial B pemberian darinya.
Kenapa Ia masih menyimpan hadiah dariku ?“  Arbi tak habis pikir.

           Embun sengaja mengacuhkannya seakan tak menyadari Arbi tengah memperhatikannya.

       “Mbun, biar Kakak yang nyetir. Kamu duduk di belakang nggak pa-pa kan ? “ Sani yang tak mengetahui keterikatan mereka di masa lalu berujar.

 Embun mengangguk pelan, Ia masuk ke mobil. Diikuti Arbi yang duduk di jok sebelah Kakaknya.
Sepanjang perjalanan Arbi dan Embun menyimpan gundah di hati masing-masing, kisah masa lalu yang coba dikubur dalam-dalam kini terkenang kembali.

            Rumah besar berlantai dua yang ditinggali Embun bersama Ibu dan Ayah tirinya  terlihat sunyi. Embun masih terlelap tidur dikamarnya pagi itu.

            “ Dasar sundal tidak tahu diri !!! “ Embun tersentak bangun dari tidurnya, teriakan dari lantai bawah rumahnya terdengar. Itu suara Ayah tirinya yang hampir setiap hari di dengarnya.

            Embun membuka pintu kamarnya perlahan, lalu pelan-pelan  berjingkat menuruni anak tangga untuk melihat apa yang terjadi.
            Ayah tirinya menjambak rambut ibu dan menyeretnya ke ruang tengah.

“ Ampun Mas,“  Ibunya meringis kesakitan. Embun menatap pilu, matanya berkaca-kaca. Ia tak berani menolong Ibunya, Embun terlalu takut.
Maafkan Embun Bu, Embun takut.“ Embun teringat kembali apa yang terjadi ketika Ia mencoba menolong Ibunya.

            Sama seperti hari ini ketika Ia mencoba memeluk Ibunya untuk melindungi, Ayah tirinya menarik bahunya dengan kasar hingga jatuh terduduk.

            “Beraninya Kau ikut campur !!! “ Ayah tiri Embun mendaratkan tamparan ke wajah Embun berulang kali.

            Embun mengerjapkan mata berusaha mengusir bayangan kelam kejadian waktu itu. Tapi tak bisa, melihat Arbi detik ini Ia seperti di hempaskan ke masa silam dan merasakan luka itu kembali.
           
“Dengar !, Aku tak akan mengampunimu sampai Kau berikan perhiasannya !!! “  Ayah tiri Embun semakin keras menjambak rambut Ibunya.
“ Aku akan berikan, tapi lepaskan Aku dulu Mas.“

Ayah tiri Embun tersenyum penuh kemenangan, Ia mendorong kepala Ibu Embun hingga jatuh menabrak siku meja. Pelipis Ibunya berdarah, Embun ingin sekali menolong. Namun rasa takutnya lebih besar hingga Ia tak berani beranjak dari anak tangga yang di singgahinya.

Ibunya berjalan masuk kamar diikuti Ayahnya dari belakang, selang tak berapa lama Ayahnya keluar membawa perhiasan Ibu Embun dengan wajah menyeringai puas.

Setelah mendengar deru mobil Ayahnya meninggalkan halaman rumah Embun segera berlari menuruni anak tangga menuju kamar Ibunya.

Sesaat Embun tertegun di pintu kamar Ibunya, wajah orang yang dikasihinya itu lebam dan penuh darah. Isak tangis Ibunya terdengar memilukan dan menyayat hati Embun. Embun membalikkan langkah berlari ke dapur untuk menyiapkan kompres.

Embun mengambil baskom, setitik air matanya jatuh di dasar baskom. Larut dengan air es yang dituangnya ke dalam baskom. Embun kemudian mengambil lap handuk yang ada dilaci meja dapur, setelah itu kembali ke kamar Ibunya.

Bu, biar Embun obati luka Ibu.“ Embun duduk di hadapan Ibunya, hendak mengelap sisa darah yang mengalir dari pelipis. Ibunya menggeleng lalu memeluk Embun dan menumpahkan tangis yang masih tersisa.
“ Embun sayang Ibu,  Embun membalas pelukan Ibunya dengan erat.
Ibu tahu sayang, Ibu tahu hanya Kau yang mencintai Ibu.
Kalau begitu ceraikan Dia Bu, Dia sudah terlalu lama menghancurkan kehidupan Kita Bu.
Ibu tidak bisa Mbun, Ibu tidak bisa.  Ibu Embun menggeleng kuat dan melepaskan pelukannya.
Ibu Embun menarik nafas dalam, berusaha menghentikan tangisnya sendiri. Ia kemudian mengambil handuk di tangan Embun.
Biar Ibu yang lakukan sendiri Mbun.   

            Embun menatap Ibunya, wanita tua itu menundukkan kepala tak berani melihat ke arahnya. Embun tak pernah tahu alasan apa yang membuat Ibunya tetap bersama Ayah tirinya.
            Jauh di dalam benaknya, Ibu Embun selalu terngiang ancaman suami keduanya.

            Aku akan membunuh putrimu jika Kau berani menceraikanku.ancaman itu, ancaman yang membuat Ibu Embun hanya bisa pasrah menerima segala perlakuan kasar suaminya.
“Seandainya dulu Aku tak terperdaya olehnya.“ Ibu Embun membatin, Ia teringat kembali awal perkenalan dengan suami keduanya.
 
            Suaminya baru saja meninggal, karangan bunga masih berjejer di halaman depan rumahnya. Arman yang waktu itu menjabat sebagai sekertaris suaminya datang ke rumahnya untuk menyerahkan laporan perusahaan. Masih mengenakan pakaian serba hitam yang menyiratkan perasaan berkabung Ibu Embun menemuinya di ruang tamu.

            “Saya tahu Ibu masih berduka dengan meninggalnya Bapak. Namun perusahaan  tak bisa ditelantarkan begitu saja. Banyak hal yang harus dikerjakan segera agar perusahaan bisa tetap berjalan. 

            Saat bersamaan Embun yang baru pulang sekolah dan masih mengenakan seragam SMP-nya pulang. Ia menghampiri Ibunya dan duduk di sebelah wanita itu.

            Tapi saya sama sekali tak mengetahui seluk beluk perusahaan. Pak Arman mungkin yang lebih mengerti. Sebagai orang kepercayaan suami Saya, bisakah pak Arman menggantikan tugas suami Saya untuk sementara waktu ?.”
            Bisa saja. Saya dengan senang hati membantu, tapi tetap tanda tangan Ibu sebagai pemilik langsung perusahaan diperlukan untuk meng-approve semua transaksi.

            Pak arman menyungging seutas senyum yang memberi kesan baik dan mampu memperdayainya.

            Ibu Embun berusaha mengusir ingatan itu, Ia menatap putrinya.

            Sudah siang, Kau harus sekolah. Bersiap-siaplah sekarang.

            Embun  mengangguk tak berani membantah.

       Ibu, sejujurnya Aku ingin tetap berada di rumah disaat-saat Ibu seperti ini” Embun mengucapkan itu dalam hati.

           Berangkatlah sekolah, jangan pikirkan Ibu. Ibu akan baik-baik saja“ Ibunya membelai rambut Embun penuh kehangatan seolah tak pernah ada luka kekerasan yang baru saja menderanya.
            Aku mengerti Bu, Ibu tak ingin membagi derita padaku. Ibu selalu ingin membuatku menjauh dari neraka di rumah ini. Dan satu-satunya tempat yang aman untukku menurut Ibu adalah sekolah“  Embun membatin, Ia mencium kening Ibunya.
            “ Embun, ke kamar dulu Bu“  Embun beranjak meninggalkan kamar Ibunya. Langkahnya gontai, Ia sama sekali tak punya semangat untuk ke sekolah setelah keributan yang terjadi pagi itu dirumahnya.

Gerbang SMU Dharma sudah ditutup sejak bel masuk berbunyi, Embun yang datang terlambat masih berdiri mematung di depan gerbangnya.

Bu, Embun enggan  memanggil penjaga sekolah, Embun  tak yakin akan konsentrasi di kelas. Neraka di rumah terlanjur meluluh lantakkan semangat Embun untuk belajar. Maafkan Embun Bu Embun melangkah pergi, menyusuri trotoar jalan menjauh dari gedung sekolahnya.
Maafkan kali ini Embun membolos lagi. Embun masih ingin menyendiri Bu” Embun berjalan tertunduk menekuri trotoar yang dipijaknya.
            Terlalu banyak yang berubah sejak kepergian Ayah“  Embun bicara sendiri dalam hati.
           Andai Pak Arman tidak datang dan berpura-pura baik pada Ibu mungkin neraka ini tak akan pernah ada“ Embun menghela nafas menyesali nasibnya.

            Dua siswi sekolah berbeda yang juga sedang membolos sekolah berjalan melewati Embun.

           Cari cowok yuk  lewat chatting,“ suara salah satu diantara Mereka menyentakkan lamunan Embun. Embun mendongakkan kepala, melihat ke arah dua remaja tadi yang menghilang dibalik pintu warnet tepat di tepi trotoar.
        Aku ingin bicara dengan seseorang,satu keinginan tiba-tiba melintas dihati Embun, mengantarnya masuk ke dalam warnet yang sama dengan dua remaja putri tadi.

             Embun menarik salah satu kursi kosong, lalu mengklik menu yang diinginkannya. Mozilla, kemudian mengetik yahoo.com, register email dengan nama Blue,  sign in, terakhir menuju join chat room.

           Help, I need some one to took. 

Embun mengetik  sebaris kalimat.

           Hi, I’ m Angel.

Balasan dari seseorang muncul di privat room.

           I’m Blue.
            I know. From who ?.
            Indo.
            Sama donk, Aku juga Indo.

           Embun sedikit tersenyum membacanya.

           Bisa bertemu ?.

Embun memberanikan diri bertanya. Ia merasa butuh teman untuk bicara dan menghibur dirinya.

           Bertemu ?. Kamu memangnya tinggal di kota mana ?’
            Sidoarjo Surabaya‘
            Dekat, Aku juga kuliah disini. Plaza tunjungan  bagaimana ?’
       Iya, Aku akan kesana. Kutunggu di dekat pintu masuk, Aku mengenakan seragam putih abu-abu.

 Klik, mouse ditekan dan Embun keluar dari chat room.

3 komentar:

  1. Mbak Ratna, baca ini aku terus ingat masa lalu deh, hem... suka Mbak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pernah punya kenalan di yahoo chat room juga ya :D

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus