Minggu, 26 Januari 2014

Benci Tapi Cinta

Judul Buku : Benci Tapi Cinta

Penerbit : Eazy Book

Tahun : 2014

Bab 1



percobaan bunuh diri

            Ini mungkin diluar akal sehat, tapi keputusanku sudah bulat. Aku tak ingin lagi menjadi bulan-bulanan semua orang karena statusku. Aku harus nekat kali ini, ini sangat mudah. Aku sudah berada di pinggir kota, dimana hanya ada persawahan di kanan kiri jalan. Tak akan ada orang yang menolongku pagi-pagi seperti ini sehingga Aku tak akan sempat dibawa ke rumah sakit untuk diselamatkan. Dan sekarang tinggal menarik kuas transmisi ke angka empat dan menginjak pedal gas dalam –dalam hingga kecepatan mobilku mencapai angka 100Km/jam maka berakhirlah semuanya.
            BRAKKK ! Dentum benturan yang keras itu pasti telah menamatkan riwayatku. Semuanya telah gelap. Aku telah mati dengan terhormat seperti yang Kumau. Dengan begini orang tak akan mengira Aku bunuh diri. Mereka pasti mengira Aku mati karena melamun saat menyetir, dan itu semua karena perkataan mereka yang memojokkan. Aku yakin sekarang mereka tengah menangisi kematianku dan menyesali tiap sindirannya yang ditujukan padaku.
            “ Sudah satu bulan semenjak Kau  lulus sarjana Mamih belum juga melihatmu bekerja “, Tiap kali bangun pagi dan berpapasan dengan Mamih di meja makan, Mamih selalu menanyakan hal itu. Hal yang sama yang tak ingin Ku dengar.
            Seharusnya Mamih tahu, mencari kerja diluar sana sangat sulit. Lulusan sarjana banyak sementara lapangan kerja minim. Pekerjaan yang tersisa buatku hanyalah Sales asuransi, kartu kredit, kendaraan dan perabot. Apa pantas Aku yang bergelar sarjana menerima pekerjaan rendahan seperti itu.
            “ Susah cari kerja sekarang Mih”, Ku jawab apa adanya. Berharap Mamih berhenti bertanya dan memaklumi kondisi di lapangan. Bahwa kebanyakan lowongan pekerjaan yang diiklankan di Koran tak sesuai dengan latar belakang pendidikanku.
            “ Sesusah-susahnya kan pasti ada pekerjaan yang bisa dilakoni. Semisal Marketing “, tanpa menoleh dari koran yang dibacanya Papih berujar. Ujaran yang membuatku menyimpan dongkol. Bagaimana tidak, Ia seperti tutup mata dengan kondisiku yang masih menganggur.
            “ Itu bukan bidang Liam Pah. Liam ini sarjana ekonomi yang bergelar cumlaude. Sudah seharusnya orang sepintar Liam masuk dalam jajaran staff Kementerian Keuangan seperti yang Papih jabat “, Aku menyinggung jabatan Papih yang pegawai eselon satu Kementrian Keuangan. Berharap Ia mau memasukkanku lewat jalur koneksi seperti kebanyakan rekannya yang memasukkan anak hingga kerabatnya ke lingkungan PNS.
            “ Kau tak bisa mengandalkan nepotisme untuk berkarir. Kau harus meraihnya dengan tanganmu sendiri agar tak disebut pecundang “, Papih melipat korannya, kemudian meneguk kopinya  dan beranjak dari meja makan. Sengaja mengabaikan permintaanku, anak laki-laki satunya yang Ia punya dan selalu memberi bangga padanya dengan prestasi belajar diatas rata-rata dan jauh dari narkoba. Orang sepertiku seharusnya berada di lingkungan kerjanya, bukan ditelantarkan seperti sekarang.
            “ Kau ini kebiasaan, membuat selera makan Papihmu hilang “,  Mamih memarahiku dan segera menyusul Papih keluar.
            SHIT ! kenapa Aku harus punya orang tua senormal ini, yang mengedepankan prinsip-prinsip hidup daripada membahagiakan anaknya sendiri. Padahal diluar sana banyak pecundang kelas kakap yang membangun dinasti kekuasannya tanpa kenal malu sama sekali.
            Aku hanya minta sedikit posisi sebagai staff, bukan pejabat. Apa susahnya bagi Papih mencarikan link buatku masuk kesana. Tokh anak-anak rekan kerjanya juga banyak yang dimasukkan lewat jalan belakang.
            Terlalu naïf untuk bertindak lugu dijaman sekarang ini, bukankah semua orang juga melakukan hal yang sama. Nepotisme, korupsi dan kolusi yang menjadi sajian sehari-hari diberbagai media massa. Kenapa Papih harus berpura-pura menjadi manusia alim ?.
           
“ Kau tak patut dapat jatah uang saku lagi. Umurmu sudah dua puluh tiga tahun, sudah sepatutnya Kau cari sendiri. Mamih dan Papih kan sudah membekalimu dengan ilmu yang cukup untuk Kau mencari kerja “, trisemester pertama Aku menganggur mereka mulai menekanku dengan cara memangkas uang sakuku. Sesuatu yang pasti memberi dampak besar bagi kehidupanku selanjutnya. Tanpa uang, tak ada kesenangan yang bisa ku beli.
            “ Tapi Mamih kan tahu sendiri, tak ada pekerjaan yang layak buatku diluar sana ?”, Ku tinggikan suaraku agar Mamih paham bahwa Aku juga sebenarnya tidak ingin menganggur.
            “ Asal halal semua pekerjaan itu layak Kak. Tinggal Kakak saja, mau atau tidak melakoninya ?”, Keny adik perempuanku satu-satunya ikut-ikutan bicara. Mungkin merasa kalau Ia lebih hebat dariku. Mengawali karir sebagai Marketing asuransi ditahun pertama kuliah, kini Ia yang sudah di semester akhir telah menembus level Manager. Ia pasti ingin membanggakan dirinya, bahwa sebagai bungsu Ia lebih hebat dari kakaknya. Sial ! kenapa Ia harus ikutan bicara?.
            Sengaja ingin membuatku iri ?, sama sekali tidak terbersit dalam benakku !. Aku tak membayangkan kalau diriku berada diposisinya, menawarkan asuransi kebanyak orang yang belum tentu mengiyakan proposal yang telah capai-capai Ku buatkan. Belum lagi rasa malunya ketika bertemu teman, Aku yang anak pejabat di Kementrian Keuangan ternyata masih nyambi menjadi Marketing asuransi. Apa kata dunia ?.
            “ Susah, Kakakmu ini selalu menaruh gengsi diatas segala-galanya. Gengsi yang tidak pada tempatnya. Dimana gengsi itu dibangun dari bayang-bayang Papih. Bukan kerja kerasnya. Padahal seharusnya Kakakmu ini malu, ketika teman-temannya sudah bekerja Ia masih saja menganggur dan tak mencoba mencari uang dengan keringat sendiri. Mau sampai kapan Kau seperti ini ?”, Papih meninggalkan ruang keluarga sebelum Aku sempat membela diri.
            Lagi dan lagi semenjak Aku menganggur, satu rumah ini menggempurku dengan tuntutannya. Memaksaku bekerja pada bidang apa saja yang ada diluar tanpa mempedulikan latar belakang pendidikan dan prestasi belajarku. Memuakkan !.

            Tri wulan berlalu dan Aku masuk ke semester pertama sebagai penyandang status pengangguran. Aku masih bertahan untuk tak menerima sembarang pekerjaan karena yakin  suatu hari Papih pasti mengalah padaku. Tapi damn it !.  Papih tetap teguh pada pendiriannya hingga Aku harus kehilangan pacarku.
            “ Males ah, kencan cuma ngobrol di mobil doang“, itu kata terakhir yang diucapkan Astri kekasihku saat terakhir kali Kami bertemu. Sehari kemudian Ia mengirimi Aku sms putus.
            Aku tak menyalahkan keputusannya, semua salahku. Karena kodrat perempuan cantik begitu adanya. Seperti kata pepatah yang teman-teman mahasiswa katakan “ Perempuan cantik itu makannya emas bukan rumput. Jadi sebelum pacaran pikir-pikir dulu sudah sesuai belum isi kantongmu.“  
            Akh, andai Papi tak memangkas uang sakuku mungkin hubungan kami masih hingga hari ini., Tanpa kecukupan uang, jelas pacar dan teman menghilang dengan sendirinya. Bagaimana bisa have fun dengan mereka kalau modal untuk nongkrong dan makan bareng saja tidak ada.
            Hidup tanpa uang memang menyedihkan, lebih menyedihkan lagi ketika Aku juga tak bisa menemukan pekerjaan yang tepat untukku menghasilkan uang. Lalu buat apa Aku hidup kalau semua kesenangan tak lagi berpihak padaku. Akan lebih baik kalau Aku  berakhir seperti sekarang.
            “ Kau sudah sadar ?”
Aku mendengar suara, apa itu suara bidadari disurga ?.
            Ku buka mataku perlahan, dipelupuk mataku terlihat seorang gadis dengan rambut terurai sebahu tengah menatapku dengan tatapan cemas.
            Wajahnya seolah bercahaya dengan mata bulat bagai bola, hidung bangir dan bibirnya yang merah merekah, bidadari itu sungguh cantik.
            “Tapi kenapa Ia tak punya sayap ?”.
            Menyadari tak ada kepak sayap dibelakangnya mataku jatuh ke bawah, melihat apa yang dikenakannya.
            HAH ! Dia tak mengenakan baju kebesaran bidadari !.


*** to be continued...http://medpressfiksi.tumblr.com/post/80960231795/benci-tapi-cinta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar