Judul Buku : Benci Tapi Cinta
Penerbit : Eazy Book
Tahun : 2014
Bab 1
*** to be continued...http://medpressfiksi.tumblr.com/post/80960231795/benci-tapi-cinta
Penerbit : Eazy Book
Tahun : 2014
Bab 1
percobaan bunuh diri
Ini mungkin diluar akal
sehat, tapi keputusanku sudah bulat. Aku tak ingin lagi menjadi bulan-bulanan
semua orang karena statusku. Aku harus nekat kali ini, ini sangat mudah. Aku
sudah berada di pinggir kota, dimana hanya ada persawahan di kanan kiri jalan.
Tak akan ada orang yang menolongku pagi-pagi seperti ini sehingga Aku tak akan
sempat dibawa ke rumah sakit untuk diselamatkan. Dan sekarang tinggal menarik
kuas transmisi ke angka empat dan menginjak pedal gas dalam –dalam hingga
kecepatan mobilku mencapai angka 100Km/jam maka berakhirlah semuanya.
BRAKKK ! Dentum benturan yang keras itu pasti telah
menamatkan riwayatku. Semuanya telah gelap. Aku telah mati dengan terhormat
seperti yang Kumau. Dengan begini orang tak akan mengira Aku bunuh diri. Mereka
pasti mengira Aku mati karena melamun saat menyetir, dan itu semua karena
perkataan mereka yang memojokkan. Aku yakin sekarang mereka tengah menangisi
kematianku dan menyesali tiap sindirannya yang ditujukan padaku.
“ Sudah satu bulan semenjak Kau lulus sarjana Mamih belum juga melihatmu
bekerja “, Tiap kali bangun pagi dan berpapasan dengan Mamih di meja makan,
Mamih selalu menanyakan hal itu. Hal yang sama yang tak ingin Ku dengar.
Seharusnya Mamih tahu, mencari kerja diluar sana sangat
sulit. Lulusan sarjana banyak sementara lapangan kerja minim. Pekerjaan yang
tersisa buatku hanyalah Sales asuransi, kartu kredit, kendaraan dan perabot.
Apa pantas Aku yang bergelar sarjana menerima pekerjaan rendahan seperti itu.
“ Susah cari kerja sekarang Mih”, Ku jawab apa adanya.
Berharap Mamih berhenti bertanya dan memaklumi kondisi di lapangan. Bahwa
kebanyakan lowongan pekerjaan yang diiklankan di Koran tak sesuai dengan latar
belakang pendidikanku.
“ Sesusah-susahnya kan pasti ada pekerjaan yang bisa
dilakoni. Semisal Marketing “, tanpa menoleh dari koran yang dibacanya Papih
berujar. Ujaran yang membuatku menyimpan dongkol. Bagaimana tidak, Ia seperti
tutup mata dengan kondisiku yang masih menganggur.
“ Itu bukan bidang Liam Pah. Liam ini sarjana ekonomi
yang bergelar cumlaude. Sudah seharusnya orang sepintar Liam masuk dalam
jajaran staff Kementerian Keuangan seperti yang Papih jabat “, Aku menyinggung
jabatan Papih yang pegawai eselon satu Kementrian Keuangan. Berharap Ia mau memasukkanku
lewat jalur koneksi seperti kebanyakan rekannya yang memasukkan anak hingga
kerabatnya ke lingkungan PNS.
“ Kau tak bisa mengandalkan nepotisme untuk berkarir. Kau
harus meraihnya dengan tanganmu sendiri agar tak disebut pecundang “, Papih melipat
korannya, kemudian meneguk kopinya dan
beranjak dari meja makan. Sengaja mengabaikan permintaanku, anak laki-laki
satunya yang Ia punya dan selalu memberi bangga padanya dengan prestasi belajar
diatas rata-rata dan jauh dari narkoba. Orang sepertiku seharusnya berada di
lingkungan kerjanya, bukan ditelantarkan seperti sekarang.
“ Kau ini kebiasaan, membuat selera makan Papihmu hilang
“, Mamih memarahiku dan segera menyusul
Papih keluar.
SHIT ! kenapa Aku harus punya orang tua senormal ini,
yang mengedepankan prinsip-prinsip hidup daripada membahagiakan anaknya
sendiri. Padahal diluar sana banyak pecundang kelas kakap yang membangun
dinasti kekuasannya tanpa kenal malu sama sekali.
Aku hanya minta sedikit posisi sebagai staff, bukan
pejabat. Apa susahnya bagi Papih mencarikan link buatku masuk kesana. Tokh
anak-anak rekan kerjanya juga banyak yang dimasukkan lewat jalan belakang.
Terlalu naïf untuk bertindak lugu dijaman sekarang ini,
bukankah semua orang juga melakukan hal yang sama. Nepotisme, korupsi dan
kolusi yang menjadi sajian sehari-hari diberbagai media massa. Kenapa Papih
harus berpura-pura menjadi manusia alim ?.
“ Kau tak patut dapat
jatah uang saku lagi. Umurmu sudah dua puluh tiga tahun, sudah sepatutnya Kau
cari sendiri. Mamih dan Papih kan sudah membekalimu dengan ilmu yang cukup
untuk Kau mencari kerja “, trisemester pertama Aku menganggur mereka mulai
menekanku dengan cara memangkas uang sakuku. Sesuatu yang pasti memberi dampak
besar bagi kehidupanku selanjutnya. Tanpa uang, tak ada kesenangan yang bisa ku
beli.
“ Tapi Mamih kan tahu sendiri, tak ada pekerjaan yang
layak buatku diluar sana ?”, Ku tinggikan suaraku agar Mamih paham bahwa Aku
juga sebenarnya tidak ingin menganggur.
“ Asal halal semua pekerjaan itu layak Kak. Tinggal Kakak
saja, mau atau tidak melakoninya ?”, Keny adik perempuanku satu-satunya
ikut-ikutan bicara. Mungkin merasa kalau Ia lebih hebat dariku. Mengawali karir
sebagai Marketing asuransi ditahun pertama kuliah, kini Ia yang sudah di
semester akhir telah menembus level Manager. Ia pasti ingin membanggakan
dirinya, bahwa sebagai bungsu Ia lebih hebat dari kakaknya. Sial ! kenapa Ia
harus ikutan bicara?.
Sengaja ingin membuatku iri ?, sama sekali tidak
terbersit dalam benakku !. Aku tak membayangkan kalau diriku berada
diposisinya, menawarkan asuransi kebanyak orang yang belum tentu mengiyakan
proposal yang telah capai-capai Ku buatkan. Belum lagi rasa malunya ketika
bertemu teman, Aku yang anak pejabat di Kementrian Keuangan ternyata masih
nyambi menjadi Marketing asuransi. Apa kata dunia ?.
“ Susah, Kakakmu ini selalu menaruh gengsi diatas
segala-galanya. Gengsi yang tidak pada tempatnya. Dimana gengsi itu dibangun
dari bayang-bayang Papih. Bukan kerja kerasnya. Padahal seharusnya Kakakmu ini
malu, ketika teman-temannya sudah bekerja Ia masih saja menganggur dan tak
mencoba mencari uang dengan keringat sendiri. Mau sampai kapan Kau seperti ini
?”, Papih meninggalkan ruang keluarga sebelum Aku sempat membela diri.
Lagi dan lagi semenjak Aku menganggur, satu rumah ini
menggempurku dengan tuntutannya. Memaksaku bekerja pada bidang apa saja yang
ada diluar tanpa mempedulikan latar belakang pendidikan dan prestasi belajarku.
Memuakkan !.
Tri wulan berlalu dan Aku masuk ke semester pertama
sebagai penyandang status pengangguran. Aku masih bertahan untuk tak menerima
sembarang pekerjaan karena yakin suatu
hari Papih pasti mengalah padaku. Tapi damn
it !. Papih tetap teguh pada
pendiriannya hingga Aku harus kehilangan pacarku.
“ Males ah, kencan cuma ngobrol di mobil doang“, itu kata
terakhir yang diucapkan Astri kekasihku saat terakhir kali Kami bertemu. Sehari
kemudian Ia mengirimi Aku sms putus.
Aku tak menyalahkan keputusannya, semua salahku. Karena
kodrat perempuan cantik begitu adanya. Seperti kata pepatah yang teman-teman
mahasiswa katakan “ Perempuan cantik itu
makannya emas bukan rumput. Jadi sebelum pacaran pikir-pikir dulu sudah sesuai
belum isi kantongmu.“
Akh, andai Papi tak memangkas uang sakuku mungkin
hubungan kami masih hingga hari ini., Tanpa kecukupan uang, jelas pacar dan
teman menghilang dengan sendirinya. Bagaimana bisa have fun dengan mereka kalau
modal untuk nongkrong dan makan bareng saja tidak ada.
Hidup tanpa uang memang menyedihkan, lebih menyedihkan
lagi ketika Aku juga tak bisa menemukan pekerjaan yang tepat untukku
menghasilkan uang. Lalu buat apa Aku hidup kalau semua kesenangan tak lagi
berpihak padaku. Akan lebih baik kalau Aku
berakhir seperti sekarang.
“ Kau sudah sadar ?”
Aku mendengar suara, apa
itu suara bidadari disurga ?.
Ku buka mataku perlahan, dipelupuk mataku terlihat
seorang gadis dengan rambut terurai sebahu tengah menatapku dengan tatapan
cemas.
Wajahnya seolah bercahaya dengan mata bulat bagai bola,
hidung bangir dan bibirnya yang merah merekah, bidadari itu sungguh cantik.
“Tapi kenapa Ia tak punya sayap ?”.
Menyadari tak ada kepak sayap dibelakangnya mataku jatuh
ke bawah, melihat apa yang dikenakannya.
HAH ! Dia tak mengenakan baju kebesaran bidadari !.
*** to be continued...http://medpressfiksi.tumblr.com/post/80960231795/benci-tapi-cinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar