Di
abad millennium ke 3 teknologi berkembang sangat pesat. Era dimana konektivitas
dan informasi dapat diakses dengan mudah. Cukup dengan registrasi layanan
internet, tiap orang bisa menikmati dua fitur tersebut hanya lewat genggaman.
Sedemikian
majunya hingga kadang teknologi tak dipahami sebagai bilah mata pedang yang
memiliki dua sisi, baik dan buruk. Baik apabila
teknologi digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan kreativitas. Buruknya ketika
teknologi berada ditangan yang salah, pengguna hanyalah konsumen dan menggunakannya
sebatas untuk mendapat hiburan, maka yang terjadi resiko terpapar hal-hal negative
akan demikian besar.
Menyerahkan
tanggung jawab sensor pada pemerintah ? hal tersebut sudah dilakukan melalui
KEMENINFO dan Lembaga Sensor Film.
KEMENINFO bersama
perwakilan Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif telah mendapatkan
komitmen dari Twitter, Blackberry dan Line untuk melakukan filtering terhadap konten pornografi, perjudian dan terorisme/ SARA yang memang sudah dilarang
dalam Undang-Undang.
Lembaga
Sensor Film juga telah melakukan monitoring dan evaluasi untuk Film yang akan
tayang di layar kaca maupun bioskop untuk menilai layak tidaknya suatu film
untuk ditayangkan. Apakah konten dalam film atau iklan film sudah sesuai dengan
Undang-Undang Nomer 33 Tahun 2009 tentang perfilman dimana Film sebagai media
komunikasi massa mampu menjadi sarana pencerdasan kehidupan bangsa dan bukan
memberi pengaruh negative yang tidak
sesuai dengan ideologi Pancasila serta jati diri bangsa.
Apakah
usaha-usaha pemerintah dalam menangkal konten negative cukup mampu mengangkal
semua itu ? pada kenyataannya tidak juga. Beberapa tayangan, blog atau fans page kadang tak terpantau. Semisal film beauty and the beast produksi disney yang tahun lalu tayang di bioskop, nyatanya terselip adegan vulgar seekor rusa yang berubah menjadi perempuan tanpa busana. Blog abengwu.blogspot.com yang
berisi konten ujaran kebencian. Fans page di facebook ‘ gay community Jakarta’
yang tak sesuai norma masyarakat Indonesia.
Lalu
apa kita harus sebentar-sebentar melapor untuk konten-konten provokasi seperti
diatas ? saya memilih bersepakat dengan Lembaga Sensor Film untuk melakukan
gerakan Ayo Sensor Mandiri.
Sejak
memiliki anak saya memang memberlakukan tiga larangan baku dalam menonton
tayangan televisi atau memainkan smartphone. Pertama tidak ada konten kekerasan, kedua kriminalitas, ketiga dan terakhir pornografi.
Budaya
Sensor Mandiri memang wajib diterapkan dalam diri tiap orang. Baik anak-anak
maupun dewasa. Karena kita tidak bisa menghindar dari teknologi, teknologi
menjadi arus utama yang berkembang pesat sekarang ini. kita tak bisa
mengandalkan orang lain atau pemerintah untuk setiap saat mengingatkan mana
yang boleh atau tidak boleh.
Tiap
diri bertanggung jawab pada dirinya, tahu apa kebutuhannya, mau menjadikan
sebagai konsumen pasif atau aktif mengkritisi diri sendiri tentang kelayakan
konsumsi. Karena kesadaran tiap diri akan sangat membantu untuk menghindar dari
paparan dan dampak yang mungkin terjadi.
Seperti
peristiwa pelecehan seksual yang belakangan marak terjadi, keterbukaan kaum
trans gender sekarang ini dan maraknya aksi kekerasan. Disadari atau tidak,
sedikit atau banyak 'arus informasi, tayangan dan konten negative' menjadi
pemantik untuk melakukan tindakan amoral atau anarki sekarang ini.
Jadi penting
bagi kita untuk menerapkan “BUDAYA SENSOR MANDIRI” mulai dari sekarang, detik
ini, saat ini dan jangan menunda hingga konten negative berhasil meracuni
pikiran kita dan merapuhkan moral kita untuk melakukan tindakan diluar jati
diri kita sebagai manusia yang memiliki hati nurani dan akal sehat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar