Senin, 27 Juni 2016

Teknologi, Dampak & Antisipasi



                Di abad millennium ke 3 teknologi berkembang sangat pesat. Era dimana konektivitas dan informasi dapat diakses dengan mudah. Cukup dengan registrasi layanan internet, tiap orang bisa menikmati dua fitur tersebut hanya lewat genggaman.

                Sedemikian majunya hingga kadang teknologi tak dipahami sebagai bilah mata pedang yang memiliki dua sisi, baik dan buruk.  Baik apabila teknologi digunakan untuk meningkatkan produktivitas dan kreativitas. Buruknya ketika teknologi berada ditangan yang salah, pengguna hanyalah konsumen dan menggunakannya sebatas untuk mendapat hiburan, maka yang terjadi resiko terpapar hal-hal negative akan demikian besar.

                Menyerahkan tanggung jawab sensor pada pemerintah ? hal tersebut sudah dilakukan melalui KEMENINFO dan Lembaga Sensor Film. 

KEMENINFO bersama perwakilan Forum Penanganan Situs  Internet Bermuatan Negatif telah mendapatkan komitmen dari Twitter, Blackberry dan Line untuk melakukan filtering terhadap konten  pornografi, perjudian dan terorisme/ SARA yang memang sudah dilarang dalam Undang-Undang.

                Lembaga Sensor Film juga telah melakukan monitoring dan evaluasi untuk Film yang akan tayang di layar kaca maupun bioskop untuk menilai layak tidaknya suatu film untuk ditayangkan. Apakah konten dalam film atau iklan film sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomer 33 Tahun 2009 tentang perfilman dimana Film sebagai media komunikasi massa mampu menjadi sarana pencerdasan kehidupan bangsa dan bukan memberi pengaruh negative  yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila serta jati diri bangsa.

                Apakah usaha-usaha pemerintah dalam menangkal konten negative cukup mampu mengangkal semua itu ? pada kenyataannya tidak juga. Beberapa tayangan, blog atau fans page kadang tak terpantau. Semisal film beauty and the beast produksi disney yang tahun lalu tayang di bioskop, nyatanya terselip adegan vulgar seekor rusa yang berubah menjadi perempuan tanpa busana. Blog abengwu.blogspot.com yang berisi konten ujaran kebencian. Fans page di facebook ‘ gay community Jakarta’ yang tak sesuai norma masyarakat Indonesia.

                Lalu apa kita harus sebentar-sebentar melapor untuk konten-konten provokasi seperti diatas ? saya memilih bersepakat dengan Lembaga Sensor Film untuk melakukan gerakan Ayo Sensor Mandiri. 

                Sejak memiliki anak saya memang memberlakukan tiga larangan baku dalam menonton tayangan televisi atau memainkan smartphone. Pertama tidak ada konten kekerasan, kedua kriminalitas, ketiga dan terakhir pornografi.

                Budaya Sensor Mandiri memang wajib diterapkan dalam diri tiap orang. Baik anak-anak maupun dewasa. Karena kita tidak bisa menghindar dari teknologi, teknologi menjadi arus utama yang berkembang pesat sekarang ini. kita tak bisa mengandalkan orang lain atau pemerintah untuk setiap saat mengingatkan mana yang boleh atau tidak boleh.

                Tiap diri bertanggung jawab pada dirinya, tahu apa kebutuhannya, mau menjadikan sebagai konsumen pasif atau aktif mengkritisi diri sendiri tentang kelayakan konsumsi. Karena kesadaran tiap diri akan sangat membantu untuk menghindar dari paparan dan dampak yang mungkin terjadi.

                Seperti peristiwa pelecehan seksual yang belakangan marak terjadi, keterbukaan kaum trans gender sekarang ini dan maraknya aksi kekerasan. Disadari atau tidak, sedikit atau banyak 'arus informasi, tayangan dan konten negative' menjadi pemantik untuk melakukan tindakan amoral atau anarki sekarang ini.

Jadi penting bagi kita untuk menerapkan “BUDAYA SENSOR MANDIRI” mulai dari sekarang, detik ini, saat ini dan jangan menunda hingga konten negative berhasil meracuni pikiran kita dan merapuhkan moral kita untuk melakukan tindakan diluar jati diri kita sebagai manusia yang memiliki hati nurani dan akal sehat.  


               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar